Logo

Buruh Ancam Turun ke Jalan Tolak Penetapan UMP

Reporter:

Minggu, 21 October 2018 03:43 UTC

Buruh Ancam Turun ke Jalan Tolak Penetapan UMP

Sejumlah buruh saat menggelar demo di salah satu perusahaan. Buruh mengancam akan menggelar demo apabila pemerintah ngotot menerapkan PP No 78/2015 tentang pengupahan. FOTO: DOK.

JATIMNET.COM, Surabaya – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jawa Timur dibayangi aksi dari para buruh yang menuntut kenaikan upah lebih dari 8 persen.

BACA JUGA : UMP Naik 8,03 Persen, Buruh: Itu Intervensi Pemerintah

Sekretaris DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jatim Jazuli SH mengatakan buruh mengolak penetapan kenaikan UMP Jatim yang hanya 8,03 persen mengingat pertumbuhan ekonomi Jatim di atas rata-rata nasional.

“Kita dipaksa untuk mengikuti surat edaran. Padahal perekonomian kita lebih baik. Jadi kami menolak penetapan kenaikan UMP Jatim yang hanya 8,03 persen,” ujarnya saat dihubungi via telepon selulernya, Sabtu 20 Oktober 2018.

BACA JUGA : Sri Mulyani Soroti Dampak Peningkatan UMP 2019

Pihaknya berjanji bakal turun ke jalan menolak kenaikan upah buruh sebesar 8,03 persen. Besaran itu telah dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.78/2015 yang mengatur upah harus mempertimbangkan inflasi nasional sebesar 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15 persen.

Jazuli menilai peran gubernur, dan bupati maupun wali kota terkesan tidak serius saat membahas kenaikan upah. Salah satunya adalah menutup mata mengenai standar kebutuhan hidup layak yang selama ini diperjuangkan buruh.

BACA JUGA : Upah Buruh Naik 20 Persen, Soekarwo: Bisa Bangkrut Semua Pabrik

Belum lagi keluarnya PP No.78 tahun 2015 tentang pengupahan membuat kepala daerah enggan membahas lebih lanjut tentang nasib buruh.

“Gubernur jangan cuma jadi kalkulator saja, tapi coba dilakukan survei dengan benar, berapa kenaikan yang layak bagi buruh di Jatim,” katanya.

Dia mengatakan penetapan upah selama ini sudah memunculkan disparitas upah di berbagai wilayah di Jatim. Terutama bila dibandingkan dengan lima daerah di ring 1 yang meliputi Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto.

“Jika ini dibiarkan, kesenjangan sosial akan semakin lebar. Tapi karena ada ancaman dari surat edaran menteri, pemerintah di daerah jadi tersandera,” keluhnya.

Jazuli menampik pernyataan Gubernur Jatim Soekarwo yang menyebut apabila kenaikan upah antara 20-25 persen bisa membuat pabrik tutup. Menurutnya, tutup tidaknya sebuah perusahaan bukan disebabkan oleh tingginya upah buruh. Acuan Undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan diharapkan bisa menjadi rujukan tentang skema pengupahan buruh.

“Kami akan menggelar demonstrasi pada 25 Oktober besok. Ini sebagai langkah mengingatkan, agar Undang-undang 13 tahun 2003 jangan dihilangkan perannya,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim Himawan Estu Bagijo mempersilakan jika buruh ingin menggelar aksi demonstrasi tentang upah.

Perihal adanya pendapat buruh soal PP 78/2015 tentang Pengupahan bertentangan dengan UU 13/2003 tentang ketenagakarjaan, Himawan enggan menanggapinya.

Dia hanya mengatakan pemerintah di daerah melaksanakan perintah dari pemerintah pusat. “Silakan teman-teman buruh menganggap berlawanan tetapi kami melaksanakan apa yang diminta oleh pusat,” tegasnya.