Logo

Begini Lika-Liku Penipuan Bos Pasar Turi Versi Pedagang

Reporter:

Sabtu, 01 September 2018 00:03 UTC

Begini Lika-Liku Penipuan Bos Pasar Turi Versi Pedagang

Henry Gunawan saat minta nasehat pada kuasa hukumnya dalam satu persidangan di PN Surabaya. dok.

JATIMNET.COM, Surabaya – Jaksa menuntut bos pengembang Pasar Turi Henry J.Gunawan dengan hukuman penjara empat tahun dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu 29 Agustus 2018. Ia dituduh melakukan aksi penipuan dan penggelapan pada pedagang.

Bukan kali pertama bos PT.Gala Bumi Perkasa ini terjerat hukum karena perkara pengembangan Pasar Turi. Pada 2017, Pemerintah Kota Surabaya menggugat Henry ke PN Surabaya karena melanggar perjanjian kerjasama pembangunan pasar.

Sesuai perjanjian Nomor 180/1096/436.1.2/2010 dan GBP/DIR/III/001 yang diteken 9 Maret 2010, pedagang yang membeli kios hanya berhak atas hak pakai. Nyatanya, Henry justru menjual kios dan menjanjikan hak milik atas satuan rumah susun (strata title). Pemerintah khawatir tindakan itu mengakibatkan hilangnya aset negara.

Tapi gugatan itu kandas. Pada 21 Maret 2017, Majelis Hakim yang diketuai Mangapul Girsang menolak gugatan pemerintah.

Adapun kasus dugaan penipuan Henry pada pedagang mencuat setelah pembeli stan menagih sertifikat strata title yang dijanjikan. Meski sudah lunas membayar, pedagang tak kunjung memperoleh haknya.

Menurut Ketua Majelis Pedagang Pasar Turi Abdur Rasyid, sementara Henry tak pernah memberikan kepastian, Walikota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan lahan Pasar Turi milik pemerintah. Jadi mustahil terbit sertifikat hak milik bagi pedagang. Toh itu tak membuat Henry segera mengembalikan duit pedagang.

Ia mengatakan korban penipuan Henry mencapai 3.600 pedagang. Mereka membeli kios dengan harga Rp 20 juta per stan. Perinciannya, Rp 10 juta untuk sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (strata title), Rp 1,5 juta untuk biaya notaris, 5 persen dari harga stan untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan 10 persen untuk pajak pertambahan nilai (PPN).

Setelah perkara biaya rampung, pedagang berlanjut ke proses perjanjian jual beli dengan PT.GBP. “95 persen pedagang sudah lunas,” katanya.

Dari fakta di persidangan, ia mengatakan tahu uang masuk ke Henry, melalui PT.GBP, mencapai Rp 3 triliun. Nilai itu jauh lebih tinggi dari taksiran biaya pembangunan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember pada 2013 maksimal sebesar Rp 800 miliar.

Haji Abdur Rasyid (58), penjual sepatu ditemui di penampungan pedagang Pasar Turi, Kamis, 30 Agustus 2018. Foto Fahmi Aziz.
Haji Abdur Rasyid (58), penjual sepatu ditemui di penampungan pedagang Pasar Turi, Kamis, 30 Agustus 2018. Foto Fahmi Aziz.

Seorang pedagang lain, Arwi (53) mengatakan curiga pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen dari pembelian stan tak disetorkan ke negara. Alasannya hingga kini ia tak pernah menerima faktur pembayaran dari PT.GBP.

Akibatnya, ia mengatakan, hingga kini pedagang enggan menempati kios meski telah menyetor lunas untuk pembelian stan. Mereka menanti hingga status hukum Henry jelas. “Banyak dari kami juga trauma dengan pemerasan yang ia lakukan,” katanya.

Rasyid mengamini ada upaya pemerasan oleh Henry. Misalnya, ia menarik denda tanpa sebab yang jelas, meski masa angsuran pedagang tidak telat. Contoh lain, Rasyid melanjutkan, pedagang yang sudah melunasi biaya pembelian, dikenai ongkos tambahan Rp 7,5 juta untuk mengambil kunci stan.

Pungutan-pungutan itu, kata dia, tak sebanding dengan fasilitas yang disediakan PT.GBP. Meski dijanjikan instalasi listrik berdaya 900 watt per kios, nyata hanya 125 watt. Kalau pun menginginkan penambahan daya 125 watt lagi, pedagang dikenakan Rp 5 juta.

Lantaran tak tahan dengan pungutan semacam itu, ia mengatakan, banyak pedagang melego stan yang sudah dibelinya. “Bagi pedagang yang tak kuat membayar (pungutan) itu akhirnya menjual stannya,” katanya.

Jatimnet.com belum mendapat keterangan langsung dari Henry maupun kuasa hukumnya. Tapi seperti diberitakan sebelumnya, Kuasa Hukum Henry, Deni Aulia Ahmad, mengatakan tuduhan jaksa pada kliennya tak sesuai dengan fakta di persidangan.

Menurut dia, persoalan yang menimpa kliennya, karena ada hak PT. GBP yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Sehingga PT.GBP tak bisa melanjutkan proses jual beli dengan pedagang.

Kewajiban itu, lanjut dia, tertuang pada perjanjian Nomor 180/1096/436.1.2/2010 dan GBP/DIR/III/001/2010 tertanggal 9 Maret 2010. Salah satu isinya, pemerintah memberikan persetujuan perubahan hak pakai menjadi hak pengelolaan (HPL) atas tanah eks bangunan Pasar Turi.