Logo

Bahasa Kunci Dialog Budaya Antar Bangsa

Reporter:

Senin, 03 September 2018 07:49 UTC

Bahasa Kunci Dialog Budaya Antar Bangsa

Raimond Selke dan perwakilan Guru Bahasa Jerman di Jawa Timur. Foto Ellyda Retpitasari.

JATIMNET.COM, Surabaya – Bahasa adalah kunci untuk memahami kebudayaan antar bangsa. Pernyataan itu disampaikan Irene Risakota, seorang pengajar di Goethe Institute, dalam satu sesi seminar pada guru bahasa Jerman di Wisma Jerman Surabaya, Minggu 2 September 2018.

Goethe Institut, kata dia, berdiri sejak 1960. Sejak itu, lembaga ini menjadi jendela Jerman untuk Indonesia. Mereka mengajarkan bahasa, memperkenalkan budaya, dan menyebarkan gagasan sastra.

“Sastra dan bahasa untuk pengajaran sangatlah penting, lewat sastra dan budaya seseorang dapat memahami suatu negara,” katanya.

Di Indonesia, ia mengatakan, ada tiga lokasi tes bahasa Jerman. Selain Wisma Jerman di Surabaya, dua lainnya berada di Bandung dan Jakarta. Setiap tahun, rata-rata ada seribu pelajar di tempat itu.

Untuk tinggal di Jerman, kata dia, memang ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi orang non-Jerman. Mereka wajib mengantongi sertifikat B1 untuk kuliah, B2 untuk bekerja, dan A1 untuk yang bermukim.

Di Wisma Jerman Surabaya, peserta kursus datang dari berbagai kalangan. Mereka tak hanya berniat melanjutkan pendidikan atau mencari kerja, tapi ada juga yang bermukim.

Irene memberi contoh, ada orang Ngawi, Jawa Timur yang menjadi peserta kursus. “Mau nyusul suaminya yang bekerja di Jerman,” katanya.

Seorang guru SMA Citra Berdikari, peserta seminar itu, Maria, mengatakan banyak manfaat yang ia dapat dari belajar bahasa asing. Ia pernah dua tahun tinggal di Jerman untuk sebuah studi. Dan rencananya, November mendatang ia kembali ke Jerman untuk melanjutkan kuliah atas beasiswa Goethe Institut.

Orang Jerman juga kepincut Surabaya

Seminar itu diikuti 15 peserta. Seorang pembicara asli (native speaker) bernama Raimond Selke dihadirkan untuk memberikan materi.

Di depan para peserta, ia menceritakan kekaguman pada Surabaya. Tak seperti di Jakarta, kemacetan kendaraan di Surabaya tak terlalu padat. Warganya juga ramah.

“Cukup menarik, baik sekali, beda dengan yang di Jakarta, orangnya sibuk-sibuk susah diajak bicara,” ujar Raimond, yang sudah tinggal di Indonesia selama satu tahun.

Sejumlah tempat di Surabaya pernah ia kunjungi. Sebut saja beberapa di antaranya; House of Sampoerna, Jembatan Merah, Balai Kota, hingga Kebun Binatang Surabaya. Ia juga sudah akrab dengan kuliner suroboyoan; gado-gado dan nasi kuning misalnya.