Logo

Atasi Risiko Gagal Panen, Petani Perlu Asuransi Pertanian

Reporter:,Editor:

Rabu, 10 March 2021 11:40 UTC

Atasi Risiko Gagal Panen, Petani Perlu Asuransi Pertanian

PANEN. Petani memanen padi. Foto: Dok. Jatimnet

JATIMNET.COM, Surabaya – Ekonom Muhammadiyah, Surya Vandiantara, menilai masyarakat di sektor pertanian dan peternakan masih banyak yang enggan mengikuti asuransi pertanian dan peternakan. 

Padahal asuransi ini dapat mengatasi kerugian petani. "Tugas pokok asuransi pertanian tersebut untuk memitigasi risiko. Ketika terjadi gagal panen di periode pertama dan modalnya habis, pupuknya, bibitnya habis sudah digunakan dan ternyata gagal," ujarnya dalam keterangan pers tertulis, Rabu, 10 Maret 2021.

Menurutnya, fungsi asuransi untuk memitigasi risiko atau menyelamatkan petani ketika terjadi gagal panen. Peran asuransi dianggap sangat penting dalam menjaga produktivitas pertanian. Memang tidak meningkatkan hasil panen, namun menghilangkan rasa kekhawatiran bagi para petani jika terjadi gagal panen. 

"Asuransi hadir agar produktivitas tanam tetap terjaga, agar petani bisa tetap bertanam di periode berikutnya. Ketika di periode sebelumnya terjadi gagal tanam, ini peran penting asuransi tersebut," katanya. 

BACA JUGA: Distan Jatim Targetkan 250 Ribu Hektar lahan Pertanian Ikut Asuransi

Dalam menerapkan asuransi pertanian, khususnya di Indonesia, masih perlu banyak perhatian. Ada tiga persoalan yang harus diperhatikan, di antaranya premi asuransi. 

Menurutnya, harus jelas siapa yang akan membayar premi tersebut karena berhubungan dengan siapa yang berhak menerima manfaat atau klaim dari asuransi pertanian. 

"Budaya di Indonesia terbagi dalam dua kategori. Yang pertama buruh tani dan yang kedua adalah pemilik lahan. Pertanyaannya kemudian yang harus membayar, apakah si buruh tani itu harus membayar atau cukup si pemilik lahan saja yang membayar," katanya. 

Surya menyebut kalaupun buruh tani yang harus membayar premi asuransi, manfaat apa yang kira-kira bisa diterima apabila terjadi kegagalan panen, mengingat dia tidak memiliki lahan. 

Kemudian, bila seandainya cukup pemilik lahan saja yang membayar premi, maka pemilik lahan berhak atas klaim atau manfaat dari asuransi tersebut.

"Permasalahannya kemudian bagaimana dengan buruh tani? Ketika klaim itu jatuh pada pemilik lahan pertanian, maka buruh tani ini mendapatkan manfaat tidak?," katanya. 

Karena menurutnya, ketika terjadi kegagalan panen, yang merasakan dampaknya tidak hanya pemilik lahan, tapi juga buruh tani.

Tak hanya itu, Surya juga memberi catatan pada masalah sosialisasi. Ia menyebut ini berkaitan dengan tingkat kesadaran asuransi masyarakat secara umum pada negara maju dengan negara berkembang. 

BACA JUGA: Gagal Panen, Petani di Lamongan Terima Asuransi

"Yang harus kita pelajari, Indonesia salah satu negara berkembang, tentunya memiliki kesadaran asuransi yang tidak lebih tinggi dibandingkan negara maju. Apalagi mayoritas petani masyarakat pedesaan, bukan perkotaan, ini perlu strategi khusus dalam hal ini Kementerian Pertanian untuk menyelesaikan persoalan tersebut," ujarnya. 

Terakhir, kata Surya, persoalan perlu diurai lagi yakni klaim asuransi yang seringkali menjadi permasalahan ketika nasabah pemegang polis kesulitan dalam mengakses klaim. "Jangan sampai di pertanian ini juga mengalami permasalahan serupa. Jadi masyarakat pedesaan ini tentu akan menjadi masalah," katanya. 

Sebab usaha pertanian di Indonesia masih ada campur tangan tengkulak. Menurutnya, tengkulak ini kadang memberikan pinjaman ke petani dan dirasakan langsung oleh para petani kecil. 

"Jadi ketika si tengkulak ini memberikan uangnya atau manfaatnya kepada para petani dengan mudahnya, maka klaim (asuransi) itu harus lebih mudah dibandingkan uang yang diberikan tengkulak kepada petani," ucapnya.