Logo
Kontroversi Pernyataan Menag Soal Kekerasan Seksual di Pesantren

Aktivis Gender Desak Menteri Nasaruddin Jalankan PMA 73/2022

Reporter:

Sabtu, 18 October 2025 10:00 UTC

Aktivis Gender Desak Menteri Nasaruddin Jalankan PMA 73/2022

Siti Aminah Tardi, mantan Komisioner Komnas Perempuan yang juga aktivis KOMPAKS. Foto: Polda NTB

JATIMNET.COM, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang menyebut kasus kekerasan seksual di pesantren terlalu dibesar-besarkan oleh media. Pernyataan yang disampaikan pada 14 Oktober 2024 itu dinilai tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi melemahkan upaya pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama.

Anggota KOMPAKS, Siti Aminah Tardi, menegaskan seharusnya Menteri Agama tidak meragukan fakta kekerasan seksual di lingkungan pesantren, melainkan memastikan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.

“Alih-alih menyalahkan media, Menteri Agama seharusnya fokus pada penerapan PMA 73/2022. Peraturan ini menjadi dasar hukum dan moral bagi negara untuk menjamin pesantren sebagai ruang aman dari kekerasan seksual,” ujar Siti dalam keterangan tertulis, Sabtu, 18 Oktober 2025. 

BACA: Cabuli Santri Lelaki, Pengurus Ponpes di Jombang Dituntut 10 Tahun Penjara

Siti yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan mantan Komisioner Komnas Perempuan menambahkan, PMA 73/2022 telah mengatur mekanisme pencegahan, penanganan, serta perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan Kemenag.

Menurutnya, pernyataan Menag yang menuding media membesar-besarkan kasus kekerasan seksual justru bertentangan dengan semangat dan mandat peraturan tersebut. “PMA 73/2022 hadir agar masyarakat, khususnya orang tua santri, yakin bahwa pesantren bisa menjadi tempat yang aman. Pernyataan Menag malah berpotensi menutupi fakta dan menghambat pelaksanaan regulasi yang sudah ada,” tegasnya.

Siti menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menegaskan kewajiban lembaga pendidikan untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual, menyediakan mekanisme pengaduan dan perlindungan korban, serta mengedukasi masyarakat tentang kesetaraan gender dan anti-kekerasan.

BACA: Perempuan di Mojokerto jadi Korban Kekerasan Seksual oleh Teman Sesama Jenis

“UU TPKS secara eksplisit menugaskan lembaga pendidikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Ketika pejabat publik justru menyatakan kasus seperti ini dibesar-besarkan, hal itu sama saja melemahkan implementasi UU dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan agama,” ungkap Siti.

Ia menegaskan kembali bahwa keberpihakan terhadap korban dan pelaksanaan hukum yang tegas merupakan langkah penting dalam menjaga marwah lembaga keagamaan. “Menutup-nutupi kasus kekerasan seksual atas nama menjaga nama baik pesantren justru bertentangan dengan ajaran moral dan prinsip keadilan,” pungkasnya.