Jumat, 19 October 2018 11:26 UTC

Ilustrasi. Buruh PT Platinum berunjuk rasa selama empat hari menuntut hak-haknya. Foto: Fahmi Aziz. Dokumentasi.
JATIMNET.COM, Surabaya – Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Timur M.Karji mengatakan kebijakan penetapan upah berdasarkan surat edaran menteri ketenagakerjaan adalah keputusan yang tidak tepat.
“Itu intervensi yang luar biasa dan sangat dalam tentang kenaikan upah regional maupun provinsi,” katanya saat dihubungi Jatimnet.com, Jumat 19 Oktober 2018.
Baru-baru ini, Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri menerbitkan surat edaran tentang tingkat inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto 2018. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan, kenaikan upah harus mempertimbangkan inflasi nasional sebesar 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15 persen. Sehingga, pemerintah mematok kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 hanya pada angka 8,03 persen.
BACA JUGA: Upah Buruh Naik 20 Persen, Soekarwo: Bisa Bangkrut Semua Pabrik
Menurut Karji, ada beberapa alasan kenapa surat edaran itu dianggap sebagai intervensi pemerintahan pada proses penentuan upah. Pertama, hingga kini para buruh masih tidak sepakat dengan peraturan pemerintah tentang upah itu. Berikutnya, surat edaran itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dalam undang-undang, ia melanjutkan, penetapan upah adalah wewenang gubernur berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan wali kota atau bupati. Para kepala daerah itu mengusulkan tingkat upah berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan di kota atau kabupaten.
“Surat edaran menteri ketenagakerjaan itu jelas-jelas upaya menghilangkan peran dewan pengupahan yang diatur dalam UU 13 tahun 2003. Artinya, PP 78 tahun 2015 itu bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan tak akan menaikkan UMP 2019 lebih dari 8,03 persen. Apalagi menaikkan sebesar 20 persen seperti tuntutan kaum buruh. Menurut dia, kenaikan sebesar itu akan membuat banyak pabrik di wilayahnya gulung tikar.
“Kalau mengikuti (aturan) nasional ya Pakde (Soekarwo) senang-senang saja. Tapi kan kami sebagai rakyat tidak menikmati pertumbuhan ekonomi Jatim, yang katanya lebih baik dari pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Karji, mengomentari pernyataan Soekarwo.
BACA JUGA: Tuntut Upah, Buruh PT Platinum Blokir Jalan Panglima Sudirman
Menurut dia, standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tak bisa serta merta dipatok berdasar angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Nyatanya, bahkan UMP sering berada di bawah standar KHL. Misalnya, ia memberi contoh, hasil survei KHL untuk buruh lajang tahun 2017 minimal sebesar Rp 2,5 juta. Nyatanya di Jatim rata-rata UMP 2018 mencapai Rp 1,5 juta.
“Kalau ini hanya dinaikkan 8,03 persen kan naiknya sedikit. Belum lagi buruh yang punya keluarga, kenaikannya sangat kecil sekali,” katanya.
Ia mengatakan kenaikan upah di satu daerah semestinya berbeda dengan daerah lain. Ia memberi contoh pekerja di pabrik rokok di Surabaya mendapat upah Rp 3,5 juta per bulan. Sementara di Tulungagung Rp 1,5 juta.
“Pekerjaannya sama risikonya juga sama. Tapi kok upahnya berbeda,” katanya.
Ia menuntut pemerintah memperkecil kesenjangan tingkat upah yang tinggi itu.
