Senin, 20 December 2021 15:00 UTC
Pakar Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair), dr Muhammad Athoillah Isfandiari PhD.
JATIMNET.COM, Jember – Di tengah gencarnya vaksinasi serta ancaman merebaknya varian baru, kabar baik muncul tentang penanganan pandemi Covid-19. Yakni tentang obat untuk mengobati covid-19.
Setidaknya ada tiga kandidat obat covid-19 yang sedang dikembangkan. Salah satunya adalah Molnupiravir buatan produsen Merck yang rencananya akan diedarkan di Indonesia pada tahun depan. Meski demikian, masyarakat disarankan untuk tidak terlena dengan kabar dengan penemuan obat covid-19.
Menurut epidemiolog Universitas Airlangga (Unair), Muhammad Athoillah Isfandiari, kunci penanganan covid-19 yang paling efektif tetap pada aspek pencegahan daripada pengobatan. Yakni dengan disiplin protokol kesehatan (prokes) dan vaksin.
“Soal obat baru untuk Covid dengan tingkat penyembuhan yang tinggi, itu memang menjanjikan. Tetapi obat kan tidak murah. Tetap yang paling efektif adalah pencegahan,” ujar Athoillah saat ditemui di Jember beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Jelang Nataru, Pemerintah Diminta Perketat Perbatasan dan Masa Karantina Untuk Cegah Varian Baru
Secara teori epidemiologi, pandemi diperkirakan pasti akan selesai. Dan setiap orang yang terpapar, pasti akan selesai dengan dua kemungkinan, yakni bisa sembuh atau meninggal dunia.
“Berdasarkan data, 98 persen sembuh, 2 persen meninggal dunia. Intinya pasti akan selesai (pandemi). Baik itu diobati atau tidak diobati. Dan tujuan pengobatan itu kan agar selesainya itu dengan kesembuhan, bukan dengan kematian,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair ini.
Secara teori kebijakan, pengobatan itu akan dilakukan ketika kasusnya banyak. Sehingga kebijakan menyelesaikan covid-19 dengan obat, akan memakan biaya yang jauh lebih besar. Karena itu, akan lebih efektif dan lebih murah jika pandemi diselesaikan dengan pencegahan tanpa obat.
Baca Juga: Pemkot Surabaya Berencana Buka Sekolah, Begini Tanggapan Ahli Epidemiologi
“Di satu sisi, pengadaan obat itu menjanjikan utnuk memperbesar peluang sembuh orang yang terpapar covid. Tetapi di sisi lain, itu bukan satu strategi yang ideal. Karena bagaimanapun juga yang paling ideal adalah pencegahan,” tutur Athoillah.
“Kalau karantina kan biayanya minim, paling cuma biaya makan. Bandingkan dengan biaya pengobatan 1 pasien saja, bisa mencapai ratusan juta. apalagi kalau pakai ventilator, bisa sampai Rp 1,5 Miliar yang itu semua ditanggung oleh negara,” ujar epidemiolog berlatar belakang pendidikan dokter umum ini.
Karena itu, Athoillah menyarankan pemerintah dan seluruh masyarakat untuk tetap mengutamakan aspek pencegahan daripada pengobatan untuk penanganan Covid-19. “Taati protokol kesehatan. Yang belum vaksin, segeralah vaksin karena itu penting,” pungkas Athoillah.
