Logo

Safenet Tuntut Transparansi Hasil Pembatasan Internet Kemkominfo pada 22-25 Mei

Reporter:

Jumat, 28 June 2019 10:39 UTC

Safenet Tuntut Transparansi Hasil Pembatasan Internet Kemkominfo pada 22-25 Mei

Ilustrasi oleh Cheppy Canggih

JATIMNET.COM, Surabaya - Southeast Freedom of Expression Network (SAFEnet) menuntut transparansi pemerintah, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), terkait hasil evaluasi pembatasan media sosial dan messaging apps, pasca internet throttling yang sudah dilakukan pada 22-25 Mei 2019.

Sampai hari ini, pertanggungjawaban atas evaluasi praktik pembatasan akses internet tidak kunjung dilaporkan.

Alih-alih pemerintah malah mengumumkan bahwa mereka telah memberangus 61.000 akun Whatsapp yang diduga telah menyebarkan hoaks.

Praktik pembatasan infromasi tersebut dianggap sebagai bentuk dasar internet shutdown yang jelas melanggar hak-hak digital.

BACA JUGA: Sidang Sengketa Pemilu, Kominfo Tak Batasi Akses Medsos

Saat itu Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), melakukan pembatasan akses terhadap media sosial terutama Twitter, Instagram, dan Facebook, serta aplikasi layanan komunikasi pesan berbasis internet (instant messaging service) WhatsApp.

Pembatasan dilakukan dengan dalih menghindari dampak negatif penyebarluasan konten yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan bersifat memprovokasi.

Langkah tersebut diambil mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama bagian manajemen konten, yang mencakup pembatasan akses.

Pembatasan itu telah dicabut. Namun wacananya kembali muncul menjelang pengumuman sidang putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis 27 Juni 2019.

BACA JUGA: Kementerian Kominfo Cabut Pembatasan Akses Media Sosial 

Prinsip pembatasan ekspresi, seperti yang tertuang dalam pasal 20 pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), mencantumkan syarat bahwa pelaksanaan pembatasan tindak pidana harus jelas dan spesifik.

Tidak gebah uyah seperti yang dipraktikkan belakangan ini. Tidak hanya itu, kebijakan pembatasan akses internet ini juga harus menyentuh persoalan yang sudah bertahun-tahun dialami kalangan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), serta aktivis Papua.

Beberapa situs web tertentu diblokir oleh pemerintah dengan alasan yang masih tidak jelas sampai hari ini.

Safenet melalui siaran persnya juga menuntut sejumlah hal lain, selain transparansi, antara lain memberikan penjelasan mekanisme pelacakan konten akun-akun di platform media sosial dan aplikasi pesan instan WhatsApp yang kemudian diblokie atau ditutup.

BACA JUGA: Rusuh 22 Mei

Safenet juga menginginkan aturan hukum atas pembatasan internet, penjelasan kuat atas penutupan akses dan pemblokiran pada situs web dan ruang media kelompok LGBT dan aktivis Papua , mencari solusi penanganan hoaks dan konten negatif dengan menghormati prinsip Hak Asasi Manusia di internet, dan terbuka menerima masukan dan bekerjasama dengan banyak pihak untuk melindungi hak atas akses informasi di Indonesia.