Selasa, 20 September 2022 23:40 UTC
no image available
JATIMNET.COM, Surabaya – Pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), sejumlah netizen menyebut tingkat konsumsi Pertalite bagi kendaraan bermotor terasa lebih boros daripada sebelumnya. Pengakuan itu beredar di media sosial.
Dikutip dari situs berita Tempo, dosen dari Kelompok Keahlian Konversi Energi Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri mengatakan peralihan BBM Pertamax ke Pertalite mengakibatkan tingkat konsumsi BBM boros.
Sebab, bilangan oktan atau Research Octane Number (RON) Pertalite lebih rendah dibanding Pertamax. RON Pertalite 90 dan Pertamax 92 dan 98.
Beda kasus jika sebelumnya juga memakai Pertalite. Jika sebelumnya cukup untuk seminggu, misalnya, kini atau pascakenaikan harga BBM, hanya cukup untuk sekitar 3-4 hari. “Mungkin secara komposisi kimia senyawanya di dalam BBM berubah sehingga nilai kalor bensin berubah,” ujar Tri.
BACA JUGA : Tolak Kenaikan Harga BBM, PKS Probolinggo Ajak Masyarakat Bunyikan Klakson
Nilai kalor yang menandakan kandungan energy pada bahan bakar ditentukan oleh senyawa kimia seperti karbon dan hidrogen. Karena perbedaan senyawa itu, misalnya, minyak solar per kilogram lebih tinggi kandungan energi daripada bensin.
Perubahan senyawa juga bisa mengakibatkan perubahan massa jenis atau density bensin. Jika ukuran bensin sama-sama satu liter, namun massa jenis berkurang dari 820 menjadi 770 gram, pemakaian bensin pasti akan jadi boros.
“Jadi begitu density berubah maka nilai kalor per liternya berubah,” kata Tri merujuk nilai kalor dalam satuan kilo joule atau kilo kalori per kilogram.
Karena itu, menurutnya, ada yang bilang kalau mengisi BBM jangan siang hari ketika panas terik, atau ketika BBM baru diisi di SPBU. Itu, kata dia terkait densitas yang berubah. Masalahnya, kata Tri, dalam spesifikasi minyak dan gas sebagai syarat boleh tidaknya bahan bakar dijual di Indonesia, tidak diperhitungkan soal nilai kalor. “Karena itu tidak ada ketentuan nilai kalor dalam spesifikasi,” ujar dia.
BACA JUGA : BBM Naik, Pemkab Gresik Bentuk Program Perlindungan Sosial Masyarakat
Kondisi itu menurut Tri berlaku umum pada transaksi bahan bakar transportasi komersial. Berbeda misalnya pada batubara yang harganya justru ditentukan oleh nilai kalor. Atau pada industri, ada yang menerapkan standar internasional BBM pada suhu 15 derajat Celsius. “Di bahan bakar kita tidak mengenal itu, kenalnya cuma rupiah per liter,” katanya.
Beberapa hari lalu Pertamina menanggapi isu tersebut, bahwa tidak ada perubahan dalam spesifikasi produksi Pertalite. Soal jawaban itu, Tri merespons, “Ya memang, tapi ada kemungkinan nilai kalornya yang berubah.” Perubahan itu disebutnya bukan disengaja. “Nggak, itu tergantung dari minyak buminya,” katanya lagi.
Dari sumur minyak bumi yang sama, Tri menuturkan, hasilnya bisa berbeda ketika diolah menjadi bahan bakar. Kilang hanya memproses namun sifat-sifat senyawa merupakan bawaan dari minyak bumi. Karena itu pula nilai densitas di berbagai SPBU bisa berbeda sehingga tidak setiap pengguna merasa boros bahan bakar.
Tempo.Co