Sabtu, 16 February 2019 23:30 UTC

Ilustrasi: Twitter
JATIMNET.COM, Surabaya - Energi baru terbarukan (EBT) masih 7 persen. Jauh jika dilihat dari target pemerintah yang mencanangkan pada 2025 sebesar 23 persen.
Pakar Kebijakan Energi, Satya W. Yudha mengatakan, belum populernya penggunaan EBT di Indonesia disebabkan oleh mahalnya harga per-kwh. Belum bisa bersaing dengan energi fosil.
"Bagaimana mau kompetitif wong harga minyak mentah dunia naik turun. EBT masih bertentangan dengan energi fosil," ujar Satya saat ditemui di Surabaya, Sabtu 16 Februari 2019.
BACA JUGA: Pusat Rehabilitasi Lutung Jawa Gunakan Sumber Energi Listrik Alternatif
Harga EBT belum bisa bersaing dengan energi fosil. Butuh peran pemerintah dalam hal ini subsidi untuk penyediaannya. Sehingga harga keekonomiannya tidak dapat bersaing dengan minyak bumi.
"Kalau kita tidak punya inovasi, mohon maaf EBT tidak akan populer. EBT kalau tidak disubsidi tak bisa berkembang di negara manapun," jelasnya.
Subsidi tersebut, menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini, tidak hanya soal harga EBT. Tetapi termasuk komponen yang digunakan untuk mobil listrik. Diharapkan dengan begitu bisa memangkas harganya menyentuh Rp 500 juta perunit. Agar terjangkau oleh masyarakat.
"Harus ada komponen yang disubsidi agar bisa kompetitif. Sekarang masih Rp 400-500 juta. Kalau bisa Rp 100-150 juta," bebernya.
Dengan begitu, penggunaan EBT di kemudian hari bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak, dan target penggunaan 23 persen pada 2025 dapat terpenuhi.
BACA JUGA: Kotoran Sapi Bisa Menjadi Sumber Energi Listrik
"Kemarin pemerintah menargetkan 35 ribu watt, saya waktu masih menjabat pimpinan Komisi VII, kita minta separuh harus EBT. Karena kalau tidak, berarti kita tidak mematuhi perjanjian paris," bebernya.
Ketersediaan EBT kian hari semakin mendesak. Sebab di satu sisi cadangan dalam negeri terus menipis. Berdasarkan data kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM), cadangan minyak dalam negeri hanya tersisa hingga 2030.
Dengan asumsi 800 ribu barel perhari tanpa ada temuan cadangan minyak baru. Jika tidak segera dilakukan inovasi EBT, bukan tidak mungkin impor akan terus membengkak.
