Selasa, 25 December 2018 04:54 UTC
Menteri ESDM Ignasius Jonan (tengah) saat meninjau kesiapan Terminal BBM Surabaya jelang Natal dan Tahun Baru. Foto: Baehaqi Almutoif
JATIMNET.COM, Surabaya - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan pemerintah memiliki alasan tersendiri untuk memilih skema utang luar negeri melalui global bond daripada pembiayaan APBN atau melalui utang konsorsium bank besar dalam melakukan divestasi saham PT Freeport Indonesia.
Menurut Jonan, pembiayaan APBN atau melalui utang konsorsium bank besar dalam negeri, bakal mengganggu stabilitas ekonomi. “Kalau uang sekarang Rp 50 trilliun, bisa gak dibayar pakai APBN. Menurut saya bisa. Dipotongkan investasi, belanja modal dan biaya pembangunan ya bisa. Wong Rp 2 ribu triliun lebih kok APBN kita,” ujar Jonan di Surabaya, Senin 24 Desember 2018.
Namun, pembiayaan yang dilakukan dari APBN ini dikhawatirkan bisa mempengaruhi perekonomian nasional. Jonan beranggapan beberapa sektor pos dalam APBN yang seharusnya mampu membangkitkan ekonomi masyarakat bakal tersedot untuk peralihan saham PT Freeport Indonesia.
Biaya modal, investasi dan pembangunan infrastruktur akan terganggu. Pemerataan pembangunan yang selama ini telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo juga bakal tersendat. Imbasnya, tujuan pemerataan perekonomian semakin jauh dari harapan.
BACA JUGA: Jonan Sebut Potensi Keuntungan PT Freeport Masih Sangat Besar
Sementara itu, jika menggunakan opsi utang dari konsorsium bank besar di dalam negeri, Jonan menyebutkan juga berisiko. Mengalirnya dana USD 3,85 miliar atau setara Rp 56,1 triliun yang dibutuhkan untuk divestasi, sama halnya dengan mengalihkan rupiah dari dalam negeri ke luar negeri.
Situasi tersebut dapat semakin berpotensi mempengaruhi posisi nilai tukar rupiah. Dengan banyaknya rupiah yang mengalir ke luar negeri karena sistem akuisisi perusahaan lintas negara, maka membuat posisi rupiah semakin melemah. Padahal di satu sisi, pemerintah saat ini tengah berupaya memasukkan rupiah ke dalam negeri.
“Saya yakin kalau Rp 50-60 trilliun konsursium bank besar di Indonesia bisa (menyediakannya. Tapi kami menghindari ini supaya tidak ada kontraksi. Kalau dipinjamkan Rp 50-60 triliun misalkan, atau USD 3,8 milliar, uangnya dibawa pergi keluar negeri. Kalau uangnya dibawa ke luar negeri mungkin terganggu lagi kursnya,” ungkapnya.
BACA JUGA: Freeport Bisa Sumbang Penerimaan Negara Lebih Besar
Terlepas dari itu, Jonan mengapresiasi keberhasilan PT Inalum yang telah berhasil menerbitkan surat utang melalui global bond tanpa jaminan. Model seperti ini tidak banyak yang berhasil.
Jika dikatakan, selama ini tambang yang dijadikan jaminan, dengan tegas Jonan menampik anggapan tersebut. Sesuai dengan Undang-undang Minerba No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara tambang merupakan milik negara. Tidak bisa dijaminkan oleh perusahaan. “Tambang tidak boleh dijaminkan, tambang milik negara,” kata Jonan.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah telah melakukan akuisisi terhadap saham PT Freeport Indonesia sebesar 51,2 persen oleh perusahaan plat merah PT Inalum (Persero). Kepemilikan saham mayoritas perusahaan tambang yang bergerak di Papua tersebut dibeli dengan cara utang dalam bentuk global bond guna melakukan peralihan saham senilai USD 3,85 milliar atau setara Rp 56,1 triliun.