Minggu, 27 January 2019 09:27 UTC
Belangkas alias ketam tapak kuda. Ilustrasi oleh Gilas Audi.
JATIMNET.COM, Surabaya - Orang Barat menjuluki sebagai Horseshoe Crabs. Tapi hewan laut yang memang mirip tapal kuda itu bukan keluarga kepiting. Ia fosil hidup yang menghuni bumi sejak 455 juta tahun silam.
Belangkas atau ketam tapak kuda, begitu kita memberi nama untuknya. Ia hidup di perairan dangkal lahan basah dan wilayah pantai. Orang Jawa menyebut belangkas jantan sebagai mimi dan mintuna untuk betina. Sebagai hewan monogami, mimi dan mintuna selalu bersama. Maka, di kalangan masyarakat Jawa, ada doa dari tiap orang tua pada anaknya yang menikah. Rukuno koyo mimi lan mintuno.
Penduduk sejumlah negara di Asia menjadikan belangkas bahan konsumsi. Greeners.co melaporkan di Hong Kong, belangkas menjadi hidangan di restoran. Sementara di Thailand dan Malaysia, belangkas termasuk sajian eksklusif.
Konon, agar bisa dimakan, mimi dan mintuna harus dimasak bersamaan. Jika tidak, hewan ini justru menghasilkan racun sehingga muskil dikonsumsi.
BACA JUGA: Aktivis Lingkungan Dukung UU Pencucian Uang Perangi Perdagangan Satwa
Ahad 27 Januari 2019, media nasional memberitakan cerita tentang TNI Angkatan Laut yang menggagalkan penyelundupan ribuan belangkas di perairan Aceh Timur pada Kamis 24 Januari 2019. Diduga, hewan berdarah biru-dalam makna sebenarnya-ini akan dikirim ke Thailand.
Belum ada keterangan pasti untuk apa hewan itu diselundupkan. Yang jelas, selain dikonsumsi, belangkas penting bagi industri farmasi.
Proses pemanenan darah belangkas. Ilustrasi. Foto: Business Insider
Warna biru dalam darah belangkas (amebosit) sejatinya senyawa kimia yang mirip hemoglobin pada manusia. Kandungan Limulus Amebocyte Lysate (LAL) di dalamnya berguna untuk menguji endotoksin (sejenis zat beracun) pada darah manusia.
Horseshoecrab.org dengan lugas menjelaskan, jika Anda pernah terserang flu dan sembuh setelah minum obat, berterimakasilah pada mimi dan mintuna. Karena obat-obatan yang Anda telan, diuji tingkat keamanannya dengan darah belangkas sebelum sah dikonsumsi manusia.
Tes LAL telah dikomersialkan di Amerika sejak 1970. Di Asia, muncul tes serupa dengan sebutan TAL, namanya diambil dari Tachypleus Tridentatus, jenis belangkas yang banyak hidup di wilayah itu.Hingga kini penelitian medis dengan memanfaatkan darah biru belangkas dikabarkan terus berlangsung di penjuru dunia. Di Amerika, Cina, Jepang, dan Eropa darah hewan purba itu digunakan untuk mendiagnosa penyakit meningitis dan gonorhoe serta mengembangkan serum antiracun.
BACA JUGA: Menteri Lingkungan Sedunia Berkumpul di Bali Bahas Sampah Laut
Melalui Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, pemerintah menyatakan belangkas hewan yang wajib dijaga kelestariannya. Nama ketam tapak kuda alias Tachypleus Gigas berada di urutan ke 229 dari 294 jenis tumbuhan dan satwa yang harus dilindungi.
Hidup menjejelah masa selama jutaan tahun, belangkas kini terancam punah. Penurunan jumlah populasi, pencemaran lingkungan, perburuan untuk kepentingan komersial, hingga kian susutnya habibat dan sumber makanan dituding sebagai penyebab.
Organisasi konservasi alam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) mencatat hanya ada empat jenis belangkas tersisa di dunia. Tachypleus tridentatus, Tachypleus gigas, Carcinoscorpius rotundicauda, dan Limulus polyphemus. Dari empat jenis itu, tiga di antaranya hidup di perairan Indonesia dan sejumlah negara di Asia. Hanya Limulus polyphemus yang hidup di Amerika.
