Selasa, 16 July 2019 13:38 UTC
Foto: Ilustrasi/Pxhere.
JATIMNET.COM, Malang - Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan (KPuK) memandang penting untuk membangun jejaring dengan lembaga advokasi tingkat nasional yang berkomitmen dan memiliki satu visi dan nilai untuk mendorong disegerakannya pembahasan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2019 yang berkala disampaikan oleh Komnas Perempuan, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466). Pada bentuk kekerasan yang mendominasi adalah kekerasan seksual sebanyak 64% lalu kekerasan psikis sebanyak 20%, kekerasan ekonomi sebanyak 9% dan kekerasan fisik sebanyak 7%.
Dalam laporan Woman Crisis Center (WCC) Dian Mutiara selama 2018, menerima kasus kekerasan dan 17% adalah kasus kekerasan seksual di Malang Raya. Hanya 2 kasus saja yang mencoba diselesaikan lewat jalur hukum.
BACA JUGA: Kasus Suap DPRD, Mantan Sekda Kota Malang Dituntut Tiga Tahun Penjara
Sekjen KpuK, Sri Wahyuningsih mengatakan bahwa pelaporan penerimaan kasus kekerasan seksual tidak banyak mendapat dukungan.
"Penyebabnya karena, pertama, sulitnya alat bukti adanya tindak kekerasan seksual. Kedua, kultur masyarakat yang belum responsif dan cenderung menyalahkan korban (blaming victim). Ketiga, lemahnya pemahaman dan perspektif pemenuhan dan perlindungan hak korban oleh penegak hukum," jelasnya ketika ditemui Jatimnet.com dalam kantor WCC Dian Mutiara.
Sri mengatakan bahwa regulasi perundangan yang ada tidak secara eksplisit mengatur macam-macam kekerasan seksual. "Pada kenyataannya, dewasa ini semakin banyak terjadi," ujarnya.
BACA JUGA: Tekan Kebocoran Pajak, Pemkot Malang Kerja Sama dengan DJP Jatim III
KPuK telah melakukan serangkaian aksi antara lain menyelenggarakan diskusi publik. Selama Februari 2019, KPuK telah bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, menghadirkan Dr. Lucky Endrawati, SH, MH, Ketua Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) FHUB.
Selain itu, Sri menjelaskan terkait regulasi baru yang yang ada dalam perundangan. "Adalah adanya bab yang mengatur pencegahan, restitusi, rehabilitasi untuk memulihkan korban, reintegrasi, partisipasi masyarakat, serta pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum," ujarnya.
Dalam perjalanannya KPuK juga mendapati kelompok masyarakat yang kontra dengan RUU PKS. Kelompok ini menarasikan secara masif baik melalui sosial media ataupun diskusi terbuka.
"Bahwa RUU PKS pro zina, pro seks bebas, pro LGBT, pro aborsi, dan dianggap sebagai produk kelompok feminis yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama," ujar Sri seraya menirukan pihak kontra.
