Jumat, 26 April 2019 00:06 UTC
JENANG TRADISIONAL. Seorang perempuan pekerja UD Teguh Rahardjo Ponorogo mengaduk adonan jenang, Minggu 21 April 2019. Usaha Mikro Kecil merupakan penggerak ekonomi masyarakat yang tahan banting meski diterpa krisis moneter. Foto: Anang Z.
JATIMNET.COM, Ponorogo – Sejak pabrik tekstil tempatnya bekerja bangkrut lima tahun lalu, Aminah (47) kini bekerja pada industri kecil rumahan. Gaji yang diterimanya memang tak lebih besar ketimbang masih bekerja di perusahaan besar, tapi dari uang itulah ia bisa melanjutkan pendidikan untuk anaknya.
“Anak saya 25 tahun, sekarang kuliah semester 6 pada jurusan sastra di (perguruan tinggi) Jakarta,” kata pekerja di UD Teguh Rahardjo Ponorogo itu, Minggu 21 April 2019.
Usaha dagang yang beralamat di Jalan Wibisono, Kepatihan itu memproduksi jenang khas Ponorogo. Bersama belasan perempuan lain, Aminah bertugas membungkus jenang sebelum dikemas dalam kardus kecil dan dipasarkan ke konsumen.
Mereka bekerja dengan sistem borongan. Semakin terampil dan cepat membungkus, semakin produktif mereka bekerja. Artinya, semakin banyak uang yang bisa dibawa pulang.
Bagi Aminah, bekerja di Usaha Mikro Menengah (UMK) seperti ini juga membuatnya leluasa mengurus persoalan domestik. Sesekali ketika ada urusan kampung, hajatan tetangga misalnya, ia bisa mengajukan libur. Bahkan ketika sakit, proses izinnya tak berbelit.
“Yang penting pamit,” kata perempuan yang berumah tak jauh dari UMK yang didirikan Teguh Rahardjo ini. “Rumah saya dekat dari sini, tak sampai lima menit pakai sepeda ontel.”
Bersama istrinya, Sri Harjati (67), Teguh merintis usahanya sejak 1982. Ketika Teguh meninggal pada usia 78 tahun 2015, usaha ini diteruskan oleh Rudy Hartono (48), anak keduanya. “Sebetulnya ini usaha turun-temurun,” kata Rudy.
PENERUS. Rudy Hartono, pengelola UD Teguh Rahardjo Ponorogo. Usaha pembuatan jenang tradisional itu merupakan warisan keluarga. Foto: Anang Z.
Produksi jenang, kata dia, dimulai dari mbah Marto, nenek dari Harjati. Rudy tak pernah kenal siapa nama asli buyutnya, tapi lazimnya warga desa, seorang perempuan dipanggil sesuai nama suaminya. “Saya tahu namanya mbah Marto gitu saja,” katanya.
Mendiang mbah Marto tinggal di Coper Kecamatan Jetis, sekitar 15 kilometer di selatan Kota Ponorogo. Mbah Marto menjual jenang buatannya di pasar sekitar desa sesuai dengan hari pasaran. Di Pasar Tamansari pada Kliwon dan Pasar Jetis pada Wage. Tiga hari pasaran lain ia gunakan untuk membuat jenang di rumah, meski ada saja langganan yang datang untuk membeli.
Dari mbah Marto-lah, Harjati belajar membuat jenang. “Sejak kecil ibu saya diasuh si mbah,” kata Rudy.
Setelah menikah dengan Teguh, Harjati membeli lapak di Pasar Legi Ponorogo. Pasangan ini menjual jajanan pasar sekaligus jenang buatannya. Dibantu dua orang tetangga, mereka memproduksi jenang di rumah.
Rudy mengenang, semasa duduk di bangku SD, ia kebagian tugas mengambil gula di pasar sepulang sekolah. Gula itu ia bawa pulang untuk bahan baku jenang. Kerap kali sebelum balik ke rumah, ia diminta orang tuanya menjajakan jenang berkeliling pasar.
Lambat laun jenang buatan Teguh kian masyhur. Pada 1988, Teguh menjual lapak dan berhenti jualan di pasar. Keluarga ini pun beralih menekuni usaha pembuatan jenang. Mereka memproduksi dan menjualnya di rumah mereka.
Warisan Leluhur
Toko itu berada di sudut halaman rumah. “Aneka Jenang Dodol, Khas Ponorogo Teguh Rahardjo”, begitu tertulis di plakat yang menempel di atas pintu utamanya. Pada Sabtu dan Minggu, juga pada hari-hari libur tertentu, tempat itu ramai dikunjungi pembeli.
Menurut Rudy, di hari ramai pembeli tokonya bisa mendatangkan omset sekitar Rp 2 juta hingga Rp 5 juta. Pembeli tak hanya datang dari sekitaran Ponorogo, tapi juga daerah lain dari dalam dan luar Jawa Timur. “Mereka beli untuk oleh-oleh keluarga di rumah,” katanya.
Ada tiga produk utama yang dijual; jenang berbahan beras dan ketan, serta wajik. Tiga produk itu merupakan warisan mbah Marto dan kini dijual seharga Rp 17.500 per bungkus.
Laiknya warisan, Rudy menjaga cita rasa jenang mbah Marto. Tak hanya itu, bentuknya pun tetap dipertahankan. Dicetak seukuran batu bata dengan berat 500 gram. Bedanya, jika dulu mbah Marto benar-benar mencetak jenang dengan cetakan batu bata, kini cetakannya boks plastik.
Perbedaan lain, dulu mbah Marto mengemas jenang dengan selembar daun pisang, kini Rudy menggunakan kertas sebagai pembungkus. “Daun pisang semakin sulit didapat,” katanya.
TRADISIONAL. Kemasan jenang UD Teguh Rahardjo Ponorogo. Foto: Anang Z.
Selain memproduksi jenang “original”, UD Teguh Rahardjo juga membuat jenang aneka rasa. Setidaknya ada puluhan rasa yang mereka tawarkan, dari rasa buah-buahan hingga bahan baku lain.
Ia mengatakan pengembangan produk itu berlangsung sejak akhir era 1980an ketika mendapat undangan berkunjung ke sentra industri dodol Garut di Jawa Barat.
Tapi, ia melanjutkan, tak seluruh varian produk itu bertahan. Di antaranya jenang berbahan buah terong, belimbing, wortel, dan tomat telah disetop produksinya. Selain kurangnya minat konsumen, bahan baku yang tak selalu ada menjadi alasan.
Tiap varian rasa, khususnya original, setidanya diproduksi sebanyak 25 kilogram dalam sekali produksi. Untuk membuat jenang sebanyak itu, Rudy dibantu 25 pekerja. Mayoritas mereka perempuan dan tetangga rumah.
Ia mengatakan dari jenang inilah derajat perekonomian keluarganya terangkat. Ia dan tiga saudaranya bisa bersekolah. Rudy kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Lestari, kakaknya, kuliah di IKIP Madiun. Adapun dua adiknya, Yudi dan Roni, kuliah di Bandung dan Surabaya.
Bagi dia, keuntungan ekonomi dan sosial itu juga harus dibagi pada orang-orang di sekitarnya. “Bagaimana usaha ini juga bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya,” katanya.
Legit Mengalir Sampai Jauh
Usaha mikro kecil merupakan panglima penggerak roda perekonomian masyarakat Jawa Timur. Jumlahnya mencapai 4,57 juta dan mampu menyerap 10,91 juta tenaga kerja. Di Ponorogo, tercatat ada 97 ribu UMK.
Mengutip analisis hasil Sensus Ekonomi 2016 Badan Pusat Statistik tentang potensi kinerja usaha mikro Jatim, UMK merupakan jenis usaha yang mampu bertahan di tengah terjangan krisis ekonomi. Penyebabnya, UMK memiliki tiga keunggulan. Mereka menghasilkan jasa dan barang yang dekat dengan kebutuhan masyarakat, tak mengandalkan bahan baku impor, dan kebanyakan ditopang modal sendiri.
Tapi UMK juga memiliki keterbatasan. Di antaranya keterbatasan akses pada perbankan dan kemampuan sumber daya manusianya minim.
TERAMPIL. Sekelompok perempuan membungkus jenang dalam kemasan kecil sebelum dipasarkan. Dari pekerjaan itu mereka bisa mendapat penghasilan tambahan untuk menopang ekonomi keluarga. Foto: Anang Z.
Menurut Rudy, UD Teguh Rahardjo menjadi salah satu UMK di Ponorogo yang dipercaya perbankan dan bisa mendapat kredit modal. Salah satunya dari Bank Jatim. Bahkan pada 2016, bank plat merah itu menobatkan usaha jenang khas Ponorogo ini sebagai pemenang ke-3 UMK berprestasi.
Dalam Laporan Keberlanjutan 2016 berjudul “Providing Values to Customers: Becoming a Sustainable Bank, Bank Jatim menyebut penyaluran kredit bagi UMK adalah bagian dari partisipasi meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Harmini (46), salah satu pekerja di UD Teguh Rahardjo, mengatakan penghasilannya cukup membantu perekonomian keluarga. Ia bisa menabung untuk membiayai kuliah anaknya di Institut Pertanian Bogor dan mencukupi kebutuhan rumah sehari-hari.
“Kalau ada perlu, kami bisa minta gajinya di awal, tak perlu menunggu akhir bulan,” kata perempuan yang sudah bekerja selama 21 tahun di tempat itu.
Ungkapan senada disampaikan Wariyatul Awaliyah. Masa kerja perempuan 61 tahun itu memang tak selama Harmini. Tapi sejak bekerja di usaha pembuatan jenang ini 13 tahun lalu, mantan buruh tani itu mengaku kehidupan ekonominya terbantu. Terlebih sejak lima tahun lalu, suaminya yang berusia 73 tahun–juga buruh tani- sakit-sakitan didera usia tua.
“Suami sudah tak bisa kerja lagi,” kata warga Jenangan, Ponorogo itu.
