Logo

Gastrodiplomasi, Saat Nasi Goreng dan Rendang Jadi Senjata Diplomasi

Reporter:,Editor:

Sabtu, 25 July 2020 01:00 UTC

Gastrodiplomasi, Saat Nasi Goreng dan Rendang Jadi Senjata Diplomasi

WEBINAR. Webinar yang digelar Pusat Kajian Gastrodiplomasi, Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember. Foto: Faizin

JATIMNET.COM, Jember - Masakan khas suatu bangsa tidak hanya menjadi kekayaan tradisi, tetapi juga bisa menjadi senjata diplomasi atau yang lazim disebut Gastrodiplomasi. Dibutuhkan suatu strategi nasional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, agar Indonesia bisa sukses menjalankan strategi Gastrodiplomasi di dunia. 

Hal itu terungkap dalam webinar bertajuk “Ambassador Talk Series#1 yang digelar Pusat Kajian Gastrodiplomasi, Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember pada Jumat 24 Juli 2020, sore.

Arrmanatha Nasir, Duta Besar RI untuk Perancis mencontohkan Thailand yang dianggap sukses menjalankan gastrodiplomasi di Eropa. Strategi diplomasi lewat makanan itu mulai diseriusi Negeri Gajah Putih sejak tahun 2012 lalu. 

Saat awal memulai, hanya ada sekitar lima ribu restoran khas Thailand di seluruh dunia. Jumlahnya melonjak menjadi sekitar delapan ribu hanya dalam waktu tiga tahun. 
“Di kota Paris saja ada 87 restoran Thailand, bandingkan dengan restoran Indonesia yang hanya ada lima di sana. Setiap restoran Thailand pun sudah menyajikan masakan yang bahan, jenis dan rasanya telah terstandarisasi,” ujar mantan Jubir Kemenlu RI ini

Lonjakan jumlah restoran Thailand ini akhirnya mendongkrak citra negara tersebut di mata dunia. KBRI di Paris, lanjut Arrmanatha sebenarnya juga sudah berupaya untuk gencar memperkenalkan makanan Indonesia. 

BACA JUGA: Bupati Jember Anggap Pemakzulan Dipicu Maju Independen di Pilkada

“Banyak warga Perancis yang suka ketika kita menggelar pameran. Tapi ketika akan mencari masakan Indonesia di Paris maka mereka kesulitan menemukan restoran Indonesia. Kalau membeli bahan-bahan untuk masakan Indonesia seperti bumbu, juga susah karena jarang ada toko yang menjualnya di Eropa,” papar pria yang juga wakil Indonesia untuk UNESCO ini.

Pengalaman serupa disampaikan oleh Siti Nugraha Maulidiah, Duta Besar RI untuk Polandia. “Semakin banyak warga Polandia yang suka dengan Indonesia, termasuk makanannya seperti rendang dan nasi goreng. Tapi keberadaan restoran dan toko bahan masakan Indonesia di Warsawa sangat terbatas,” ungkap Siti.

Karena itu, Siti menilai perlu ada upaya mendorong dan membantu pengusaha  swasta serta diaspora Indonesia agar mau masuk ke pasar Eropa seperti Polandia. “Karena peluang mempromosikan masakan Indonesia terbuka lebar, baik dalam membuka restoran atau memasok bahan masakan khas Indonesia,” ujar Siti.

Peran diaspora dalam strategi gastrodiplomasi dipaparkan Kristiarto Legowo, Duta Besar RI untuk Australia. Banyaknya warga Indonesia di benua Kanguru membuat restoran nusantara mudah ditemukan. Namun ia menekankan, empat syarat lain agar masakan Indonesia bisa diterima semua bangsa.

BACA JUGA: Pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD, Khofifah Tunggu Keputusan MA

“Pertama, harus universal delicious, artinya bisa diterima semua lidah, kedua unik. Lantas disajikan dengan menarik. Dan terakhir, jangan lupa harus mempromosikan budaya Indonesia sebagai pembeda dengan makanan dari negara lain,” tutur Kristiarto Legowo.

Strategi gastrodiplomasi yang lain, dipaparkan diplomat senior, Darmansjah Djumala, Duta Besar RI untuk Austria dan Perserikatan Bangsa Bangsa. Menurutnya, strategi gastrodiplomasi harus memuat penciptaan narasi dibalik masakan Indonesia. Narasi itu untuk memperkuat aspek national branding dan identity branding.

“Seperti misalnya tumpeng yang menyiratkan doa kepada Yang Maha Esa, atau gado-gado yang menceritakan kebersamaan dalam keberagaman. Melalui gastrodiplomasi maka kita bisa menceritakan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang multikultural, toleran, dan moderat,” jelas diplomat yang sudah berdinas 35 tahun di Kemenlu RI ini.

Sementara, Rektor Unej, Iwan Taruna mendukung rencana C-RiSSH yang akan menggelar secara rutin diskusi daring dengan mengundang sejumlah diplomat. “Unej mendorong kegiatan webinar yang berkualitas sehingga tetap mampu membangun atmosfer akademik di tengah pandemi Covid-19. Termasuk memberikan penguatan bagi Pusat Kajian Gastrodiplomasi yang menjadi satu-satunya di Indonesia,” kata rektor berlatar belakang doktor teknologi pangan ini.