Senin, 14 January 2019 13:11 UTC
Sejumlah penyandang difabel mengenal beberapa prosedur naik pesawat di Bandara banyuwangi. Foto: Ahmad Suudi
JATIMNET.COM, Banyuwangi – Bandara Banyuwangi ternyata belum ramah difabel. Beberapa fasilitas untuk penumpang di bandara ini belum tersedia. Hal ini terungkap saat ada kunjungan 30 penyandang difabilitas dari SD Luar Biasa (SDLB) Negeri Banyuwangi dan Yayasan Aura Lentera yang sengaja ke Bandara Banyuwangi, Senin 14 Januari 2019.
Para penyandang difabel ini dikenalkan prosedur mulai pembelian tiket pesawat, pemanfaatan mesin pemeriksaan barang dengan sinar X, hingga kondisi di ruang kedatangan penumpang.
BACA JUGA: Bandara Banyuwangi Resmi Layani Rute Internasional
Ketua Yayasan Aura Lentera Windoyo mengatakan, penyandang difabel Banyuwangi perlu mengetahui bandara yang ada di daerahnya. Selain itu pengelola bandara perlu mengenal masyarakat difabel sehingga bisa memberikan pelayanan yang layak kepada mereka.
"Kita ingin memberikan masukan kepada tim Angkasa Pura II (AP II pengelola bandara) bahwa di Banyuwangi ada difabel, dan mereka juga berhak menikmati jasa pelayanan yang aksesibel di bandara," kata Windoyo.
Dia mengaku mengerti bahwa pembangunan menuju bandara yang ramah bagi difabel butuh proses yang lama. Apalagi tidak setiap hari ada penumpang difabel di bandara kebanggaan masyarakat Bumi Blambangan itu sehingga belum menjadi atensi pengelola bandara.
BACA JUGA: Bandara Banyuwangi Belum Miliki Karantina
Namun merupakan bagian dari amanat undang-undang dan ratifikasi hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar difabel mendapatkan pelayanan yang layak setara dengan non difabel. Menurutnya beberapa spot di terminal Bandara Banyuwangi belum didesain ramah untuk penyandang difabilitas.
Misalnya belum tersedia jalur khusus difabel dan adanya kolam tanpa pembatas atau pagar yang bisa mencelakai penyandang tunanetra atau tunadaksa saat kursi roda mereka kehilangan kontrol. Selain itu ada kursi yang ditempatkan menempel pada dinding di depan toilet yang kurang ramah pada penyandang tunanetra.
"Karena teman-teman tunanetra biasanya cari yang pinggir sambil meraba dinding, dan bisa menabrak kursi. Kalau kamar mandinya sudah aksesibel, kursi roda sudah bisa masuk," papar pria penyandang tunanetra itu lagi.
Hal serupa disampaikan penyandang tunadaksa Ika Aprilia Dewi (22) yang telah beberapa kali terbang ke luar daerah hingga luar negeri. Menurutnya penempatan kursi yang menempel dinding perlu ditata lagi agar akses ke toilet lebih mudah bagi penyandang difabel.
Selain itu dia merasakan perbedaan pada sikap dan penanganan para petugas di bandara yang mulai melayani penerbangan internasional akhir tahun lalu itu. Petugas bandara lain yang ditemuinya memperhatikan dan lebih peduli pada difabel.
"Jadi mereka sudah bisa bagaimana caranya berinteraksi. Di sini mungkin masih awam dan masih jarang mendapatkan penumpang difabel, jadi masih kaku dan kurang bersahaja," katanya.
Petugas Informasi AP II Bandara Banyuwangi Eva Untari mengaku bangga pada semangat penyandang difabilitas untuk mengenal bandara di tengah keterbatasan mereka. Diakuinya juga belum ada persiapan petugas-petugas bandara dalam melayani penumpang difabel.
"Toilet kita sudah ramah bagi mereka. Untuk pelayanan personal per orang kita masih berusaha untuk menyediakan," kata Eva.
Nizam Pangestu Hidayatullah (10) penyandang tunanetra siswa kelas 4 mengaku senang bisa mendengar bunyi pesawat lepas landas meski tidak bisa melihat rupanya. Dia dan kawan-kawannya antusias meraba sabuk konveyor hingga kotak besi dari mesin pemeriksaan barang dengan sinar X di ruang keberangkatan bandara.
Saat sabuk konveyor berjalan, mereka menjerit kaget karena tidak bisa melihat peralatan yang sedang dipegangnya yang tiba-tiba bergerak masuk mesin.
"Ada kayak besi-besinya. Fungsinya untuk ngecek barang penumpang," kata Nizam yang bercita-cita jadi ustaz itu.