Rabu, 22 August 2018 09:10 UTC
Kampung Edukasi Sampah di RT 23 RW 7 Kelurahan Sekardangan yang kini menjadi role model kampung bersih di Jawa Timur. FOTO: Rochman Arief.
Sampah itu kotor. Sampah itu bau. Sampah itu menjijikkan. Sampah itu mengganggu. Sebenarnya sampah memiliki manfaat dan bisa mendulang uang.
JATIMNET.COM, Sidoarjo – Memasuki kawasan RT 23, RW 7, Kelurahan Sekardangan, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo sangat berbeda. Kampungnya bersih, asri, hijau, di sejumlah rumah terdapat tong sampah, dan tanaman hidroponik.
Rupanya kawasan yang masuk perumahan Pesona Sekar Gading itu telah menerapkan zero waste atau bebas sampah. Selama tiga tahun membangun edukasi sampah, kampung tersebut mampu menekan sampah rumah tangga dari 2 kg per hari menjadi 500 gram per hari.
“Sebenarnya kalau benar-benar zero, sepertinya kami belum bisa. Tapi tujuan kami mengurangi sampah” kata Edi Priyanto ketua RT 23/ RW 7, Sekardangan, saat dijumpai di kediamannya, Rabu 22 Agustus 2018.
Di kampung ini, warga mengelola sampah menjadi tiga bagian. Tiap bagian ditempatkan di tiga tempat yang berbeda. Tiap tempat diberi warna sebagai identitas, seperti tempat sampah hijau berarti untuk sampah organik, kuning untuk sampah non organik dan merah untuk sampah bahan berbahaya beracun (B3).
Sampah organik dikelola menjadi pupuk kompos. Alat untuk mengelola bisa menggunakan salah satu dari dua alat, yaitu Tong Takakura dan Tong Aerob. Tong Takakura terbuat tong biasa atau timba plastik yang diberi lubang.
Agar lalat tidak masuk pada proses membuat kompos, di dalam timba diberi lapisan kardus. Kemudian sisa-sisa sayur dan buah bisa langsung dimasukkan ke dalam Tong Takakura. Sebelum ditutup, beri sekam di atasnya. Lalu tutup rapat. “Adapun penempatan Takakura bisa di dalam rumah,” lanjut pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah.
Sementara Tong Aerob digunakan untuk mengelola sampah organik basah dalam jumlah besar. Di kampung ini, terdapat delapan Tong Aerob yang ditaruh di sisi pojok kampung. Tong ini juga dijual dengan harga Rp 500.000 dengan lukisan dan Rp 400.000 tanpa lukisan.
Hasil dari produksi pupuk kompos padat ini membutuhkan waktu satu bulan dengan masing-masing 20 kg untuk Takakura dan 40 kg untuk Aerob. Pupuk ini dijual seharga Rp 5.000 per bungkus.
Sebenarnya kampung ini juga memproduksi kompos cair, yang berasal dari sisa-sisa ikan, buah, daging yang kemudian dibelender dan dicampur tetes tebu. Kompos cair dijual seharga Rp 20 ribu per botol ukuran 600 ml.

Bagaimana dengan sampah non organik? Sampah non organik juga dikelola dengan baik. Setiap warga menjual ke bank sampah dan sisanya untuk buah tangan, semisal baju, rompi, pot dan aneka produk lainnya.
Macam-macam sampah non organik yang dikumpulkan adalah plastik, botol plastik, pipa, karet, dan minyak bekas. Masing-masing sampah non organik dipisah, misalnya bekas botol air mineral dipisahkan mulai dari label, tutup botol dan botol juga dikempeskan. “Kalau dijual terpisah, nilai jualnya lebih besar” ucapnya.
Disebutkan alumnus Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat itu juga menambahkan minyak goreng bekas menurutnya berbahaya. Sebab minyak goreng bekas jika dibuang di selokan, got maupun pembuangan air bisa menyebabkan buntu.
“Minyak goreng bekas bisa dimanfaatkan. Menurutnya sudah ada yang menampung untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar,” tegasnya.
Untuk menjadikan kampung edukasi sampah, Edi mengaku membutuhkan waktu selama dua tahun. “Ini tahun ketiga. Awalnya cuma ada tiga kader, sekarang sudah ada 33 kader yang membantu” ucapnya.
Menurutnya, untuk mengubah kampung ini tidak bisa dilakukan satu orang. Pihaknya dibantu warga dengan menempel stiker warna merah di rumah yang tidak peduli dengan sampah. Dengan begitu warga akan tumbuh kepedulian terhadap sampah.
Sementara itu, salah satu warga yang juga pengurus RT, Jusuf Darmawan mengaku kampung ini juga membatasi kawasan rokok. Orang yang merokok diberi tempat tersendiri, yaitu di pos pendukung yang terletak di luar gapura.
Kampung Edukasi Sampah ini kian lengkap setelah tertanam beberapa Closed Circuit Televisi (CCTV) yang membuat kampung lebih aman. “Kita bisa mengakses melalui gawai masing-masing warga, ga perlu melalui monitor,” terangnya.