Logo

Agar Rumah Tuhan Untuk Semua

Reporter:

Kamis, 16 August 2018 01:30 UTC

Agar Rumah Tuhan Untuk Semua

Masjid Cheng Ho Surabaya. Ilustrasi. (Facebook)

Banyak masjid tapi tak semua menerapkan desain ramah difabel.

JATIMNET.COM, Surabaya – Azan Jumat hampir berkumandang di Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya. Sepuluh lelaki sibuk menyapu dan mengepel lantai, menggelar karpet di halaman, untuk menyambut kedatangan jamaah salat Jumat. Uniknya, di tepi hamparan karpet, 20 kursi plastik warna merah disusun berjajar-jajar.

“Kursi itu fasilitas untuk jamaah penyandang difabel,” kata seorang pengurus masjid Hasan Basri alias Lim Fuk Shan (30 tahun), para Jatimnet.com, Jumat 10 Agustus 2018.

Masjid Cheng Ho terletak di Ketabang -sekitar satu kilometer dari Balai Kota Surabaya-, merupakan masjid berarsitektur Tionghoa. Masjid yang berdiri di atas lahan sekira 231 meter persegi itu mampu menampung 200 jamaah. Pada hari-hari tertentu, masjid yang berdiri sejak 2002 ini banyak dikunjungi orang. Selain untuk mengagumi keindahan arsitekturalnya, sekaligus beribadah.

Menurut Hasan, sebenarnya Masjid Cheng Ho tidak secara khusus didesain ramah difabel. Hanya saja, desain bangunannya yang sederhana membuat penyandang difabel lebih mudah mengakses masjid ini.

Misalnya saja, ia mengatakan, posisi tempat wudu tak terlalu tinggi sehingga penyandang difabel bisa menjangkau kran air dengan duduk. Contoh lain, lantai serambi pun terbilang rendah. Posisi itu mempermudah jamaah dengan keterbatasan fisik masuk ke masjid.

Lantaran kemudahan itu, kata dia, belakangan banyak penyandang difabel yang datang beribadah di Masjid Cheng Ho. Hingga akhirnya sejumlah fasilitas ditambahkan, satu di antaranya, kursi merah ketika salat Jumat.

Sudah semestinya masjid didesain untuk semua kalangan masyarakat. Baik penyandang difabel maupun bukan.

Dalam Sistem Informasi Masjid (Simas) Kementerian Agama tercatat 1.716 masjid di Surabaya. Tapi tak seluruh bangunan masjid itu didesain untuk mempermudah penyandang difabel mengaksesnya.

Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya. Ilustrasi. (masjid-surabaya.blogspot)

Masjid Ulul Albab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya contoh lainnya. Sama halnya dengan Masjid Cheng Ho, takmirnya juga sekadar menyediakan kursi untuk jamaah penyandang difabel. “Secara khusus di sini memang belum ada fasilitas memadai untuk difabel,” kata seorang takmir Wasit, Jumat 3 Agustus 2018.

Menurut dia, salah satu alasan belum tersedianya fasilitas khusus itu karena tak banyak mahasiswa penyandang difabel di kampusnya.

Di waktu salat, masyarakat sekitar kampus juga ada yang datang untuk beribadah. Pernah sesekali beberapa di antara jamaah itu merupakan penyandang difabel. “Tapi tidak sering ada penyandang difabel,” katanya.

Meski belum ada sarana khusus bagi penyandang difabel, takmir berusaha semaksimal mungkin meningkatkan kenyamanan dan keamanan bagi jamaah.

Bagi Wasit, juga Hasan, gagasan membangun masjid yang ramah penyandang difabel layak diwujudkan. Karena masjid adalah tempat ibadah untuk semua muslim, tanpa terkecuali penyandang difabel.

Tak Cukup Sekadar Infrastruktur

KURSI MERAH. Sebuah kursi merah diletakkan di tepi hamparan karpet di pelataran Masjid Cheng Ho Surabaya, Jumat 10 Agustus 2018. Kursi itu merupakan fasilitas bagi penyandang difabel beribadah. (Afiyah Romadhoni)

Untuk mempermudah aksesibilitas penyandang difabel di tempat ibadah, kondisi bangunan bisa didesain sedemikian rupa. Misalnya jalan miring (ramp) pengganti lantai berundak lengkap dengan pegangan tangan di tembok, serta lift dan toilet khusus bagi pengguna kursi roda.

Di masjid, sejumlah rekayasa bangunan bisa dilakukan agar jamaah penyandang difabel nyaman. Misalnya alat bantu untuk masuk-keluar masjid, tanda khusus untuk arah kiblat, hingga kursi kecil di tempat wudu.

Ketua Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN Sunan Ampel Surabaya Agasraya Pangudi Luhur mengatakan andai saja masjid dilengkapi sarana seperti itu tentu para penyandang difabel akan lebih nyaman beribadah. Sayangnya, tak semua masjid menyediakan, termasuk masjid di kampusnya, Ulul Albab.

Menurut dia, penyandang difabel tak membutuhkan belas kasihan. Mereka hanya membutuhkan sarana tambahan untuk mempermudah aktivitas sehari-hari. “Penyandang difabel itu bisa mandiri jika fasilitas terpenuhi,” katanya, Senin 6 Agustus 2018.

Aktivis muda Nahdlatul Ulama, juga pegiat Jaringan Gusdurian Surabaya, Yuska Harimurti mengatakan memang tak banyak masjid yang menerapkan desain ramah difabel. Tak hanya masjid, bangunan publik lain juga seharusnya didesain bisa diakses semua kalangan masyarakat, termasuk penyandang difabel. “Kami sangat mendukung jika ada wacana menciptakan bangunan yang ramah difabel,” katanya, Jumat 3 Agustus 2018.

Karena itu, ia melanjutkan, Jaringan Gusdurian membuka diri bekerja sama dengan kelompok masyarakat lain untuk mewujudkannya. “Bukankah Gus Dur adalah seorang difabel,” katanya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Satria Unggul mengatakan selain perkara infrastruktur, kepedulian masyarakat juga menjadi faktor utama pendukung dalam menciptakan sarana ramah penyandang difabel. “Selain fasilitas fisik, sikap awareness masyarakat juga penting,” katanya, Senin 6 Agustus 2018.

Menurut laki-laki berusia 25 tahun itu, mengubah infrastruktur saja tak cukup untuk menciptakan kesetaraan.

“Bayangkan jika ada difabel mau jadi muazin atau takmir masjid ditolak karena difabel. Meski masjid itu fasilitas fisiknya sudah terpenuhi kan artinya mereka belum nyaman beribadah di masjid itu,” katanya memberi contoh.

Ia mengatakan kesadaran masyarakat tentang penyandang difabel juga perlu dibenahi. Pada dasarnya mereka memiliki kemampuan yang sama dengan non-penyandang difabel. Contohnya saja, kini banyak penyandang difabel yang berprestasi di bidang olah raga atau bidang lain.