Logo

400 Penambangan di Jawa Timur Ternyata Ilegal

Reporter:,Editor:

Kamis, 22 November 2018 15:23 UTC

400 Penambangan di Jawa Timur Ternyata Ilegal

Ilustrasi tambang. Foto: Rohman Arief.

JATIMNET.COM, Surabaya – Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyebut setidaknya ada 400 penambangan ilegal di penjuru wilayahnya. Mayoritas aktivitas tak berizin itu datang dari tambang galian C (pasir, kerikil, dan tanah uruk) dan logam (emas).

“Kalau Migas tidak, sebab membutuhkan biaya mahal,” kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jatim Setiajid usai menghadiri seminar tentang potensi penambangan di hotel Wyndham Surabaya, Kamis 22 November 2018.

Mantan kepala dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi Jatim itu melanjutkan penambangan ilegal itu sebagian besar berada Madura, Pacitan, dan daerah “Tapal Kuda”. Daerah tapal kuda meliputi Pasuruan bagian timur, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.

Ada pun daerah-daerah yang memiliki potensi tambang di antaranya Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Trenggalek, Tulungagung, dan Pacitan. Banyak potensi di daerah itu, baik tambang emas mau pun pasir, ia melanjutkan, belum tergarap secara maksimal.

Ia mengatakan keberadaan tambang ilegal menjadi persoalan tersendiri. Tak hanya di Jatim tapi juga di Indonesia. Salah satu penyebabnya, ada anggapan keliru melihat potensi sumber daya alam. Orang berpikir kekayaan itu milik negara dan rakyat sehingga tiap warga negara bisa mengambil secara bebas. “Tidak bisa begitu,” ujarnya.

BACA JUGA: Soal Tambang Emas, Soekarwo Segera Jawab Surat Faida

Menurut dia, pemerintah terus membina penambang ilegal. Jika tak manut, pemerintah akan mengambil tindakan tegas dengan cara menutup paksa aktivitas pertambangan itu. Targetnya, tak ada lagi pertambangan ilegal di Jatim pada 2019. “Tambang ilegal itu merusak lingkungan dan merugikan negara,” katanya.

Rawan Konflik

Karut marut izin tambang juga berpotensi menimbulkan konflik. Seperti yang pernah terjadi antara PT Rolas Nusantara Tambang dan warga desa Alasbuluh Kecamatan Wongsorejo Banyuwangi.

“Semua ini bermula dari sosialiasi pada tahun 2014,” kata Abdullah (42), warga Alasbuluh, pada reporter Jatimnet.com Khoirotul Lathifiyah, usai seminar tentang HAM versus Tambang dan Mineral di Universitas Surabaya, Rabu 21 November 2018.

Menurut Sekretaris Ranting NU Alasbuluh itu, Rolas Nusantara berencana menambang batu di Alasbuluh. Dalam sosialisasi di depan warga, mereka berjanji membangun infrastruktur desa dan membuka lapangan kerja bagi warga. Pasca sosialiasi, sikap warga terbelah. Ada yang menolak ada yang setuju.

Aktivitas penambangan pun melenggang. Kendaraan-kendaraan tambang hilir mudik di desa. Penolakan warga pun menguat. Terlebih setelah jembatan desa rusak diterjang banjir. “Sebelumnya memang sudah banjir tapi tak sebesar itu,” kata Abdullah, juga perangkat desa Alasbuluh.

Para penolak, kata dia, juga khawatir polusi dan suara bising yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan.

Abdullah sendiri pernah melakukan aksi pencegatan truk pengangkut hasil tambang. Gara-gara itu, ia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menusuk ban kendaraan. “Karena saya tidak melakukan, akhirnya saya terbebas,” katanya.

Yang lebih miris, bagi dia, warga desa kini terbelah. Antara yang pro dan kontra terhadap aktivitas penambangan. “Padahal tahun 2000 di (dusun) Sidomulyo kami hidup rukun,” katanya.

BACA JUGA: Pemkab Jember Tegas Menolak Tambang Emas

Jatimnet.com belum berhasil mewawancarai Rolas Nusantara. Tapi dalam situs resminya tercatat, perusahan patungan antara PT Perkebunan Nusantara XII dan PT Rolas Nusantara Mandiri itu mulai menambang di Dusun Sidomulyo, Alasbuluh pada 29 Agustus 2014. Penambangan itu sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi nomor 545/03/KEP/429-207/2014 yang diterbitkan pemerintah kabupaten Banyuwangi.

Peneliti di Pusat Studi Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya Dian Noeswantari membagi pengalaman meneliti konflik sosial di area tambang Tumpang Pitu di kawasan Pulau Merah Banyuwangi pada 2016-2017. “Proses perizinan seharusnya melibatkan warga,” katanya.

Faktanya di Pulau Merah, kata dia, warga tak tahu proses perizinan itu. Sehingga ketika perusahaan penambang beroperasi, warga kehilangan hak yang semestinya didapat dari aktivitas penambangan. “Karena tidak ada kejelasan dan transparansi, hak masyarakat terabaikan dan tidak mampu menyuarakan pendapatnya,” katanya.

Ia pun menyayangkan ternyata persoalan serupa terjadi di Alasbuluh Banyuwangi.