Logo

SAFEnet Desak Kasus Jurnalis Zakki Amali Dihentikan

Reporter:

Senin, 26 November 2018 10:43 UTC

SAFEnet Desak Kasus Jurnalis Zakki Amali Dihentikan

Aksi dukungan terhadap Jurnalis Zakki Amali di Semarang beberapa waktu lalu. Foto: Istimewa

JATIMNET.COM, Surabaya – Organisasi Perlindungan hak-hak digital warga di Asia Tenggara Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mendesak agar kasus Zakki Amali, jurnalis dari Semarang dihentikan.

Zakki saat ini sedang menghadapi tuntutan hukum pencemaran nama baik karena 4 artikelnya di media daring serat.id pada 30 Juni 2018 lalu berisi dugaan plagiasi Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman.

Bimo Fundrika selaku relawan SAFEnet mengatakan bahwa, kasus yang menimpa Zakki membuktikan bagaimana ekspresi yang sah kembali mendapat ancaman dan bahkan dikriminalisasi dengan alasan pencemaran nama baik.

Padahal, kata Bimo, hak berekspresi Zakki Amali sebagai warga negara Indonesia sepenuhnya dijamin dan dilindungi oleh negara Indonesia dalam konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang lain.

"Pengancaman pidana atas tulisan investigasi yang ditulis oleh Zakki Amali dengan menggunakan pasal defamasi dalam UU ITE jelas merupakan upaya intimidasi dan kesalahan besar karena perbuatan Zakki Amali dalam melakukan investigasi dan menuliskannya jelas tidak dapat dipidana dan justru dilindungi oleh hukum Indonesia," tegas Bimo Fundrika dalam rilis yang dikeluarkan SAFEnet, Senin 26 November 2018.

Bimo menjelaskan, dalam pasal 310 KUHP ayat (3) disebut perkecualian tindakan yang tidak dapat dipidana pencemaran nama baik. Bunyi pasal 310 ayat (3): "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri."

Selain itu, sebagai jurnalis, Zakki Amali memiliki hak melakukan investigasi, apalagi ia melakukannya sesuai dengan azas dan kaidah jurnalistik, dan memberitakan hasil investigasi tersebut demi kepentingan publik. “Yang dilakukannya bukanlah suatu niat jahat (mens rea) untuk mencemarkan nama baik seseorang, melainkan demi kemuliaan dari institusi pendidikan tinggi di Indonesia dari praktik plagiasi,” ujar Bimo.

Anton Muhajir sekretaris SAFEnet menambahkan, kasus Zakki Amali juga menunjukkan betapa lenturnya UU ITE karena bisa digunakan untuk semua kasus di dunia daring meskipun media yang dipersoalkan adalah media jurnalistik, sesuatu yang sebenarnya telah diatur oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

"Dalam penyelesaian sengketa isi pemberitaan, selama ini Dewan Pers dilibatkan sebagai mediator. Polda Jateng harus melimpahkan perkara ini ke Dewan Pers sesuai Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers," kata Anton.

Dalam artikel investigasi yang ditulis oleh Zakki Amali tersebut, Fatur Rokhman diduga menjiplak artikel "Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas” yang terbit dalam prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (Kolita) 1 Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta tahun 2003.

Naskah itu sama persis dengan makalah “Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas” karya Rektor Unnes Prof Fathur Rokhman yang terbit di jurnal Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya (Litera) Universitas Negeri Yogyakarta Volume 3, Nomor 1, Tahun 2004.

Zakki dilaporkan oleh Hendi Pratama, Humas Unnes selaku kuasa hukum Fathur Rokhman, ke Polda Jawa Tengah pada 21 Juli 2018. Zakki dituduh telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan diancam dengan Pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU ITE.

SAFEnet mendesak Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi/Kemkominfo segera menyatakan kasus ini tidak perlu dilanjutkan karena tidak ada unsur pidana defamasi yang dilakukan Zakki Amali.

SAFEnet juga menuntut Kepolisian Daerah Jawa Tengah menghentikan penyelidikan/penyidikan atas Zakki Amali karena tuduhan pencemaran nama baik tidak dapat diterapkan pada kasus ini sebagaimana tercantum pada pasal pengecualian 310 ayat (3) KUHP.

“Polda Jawa Tengah harus mengacu kepada UU Pers Nomor 40 tahun 1999, bukannya menggunakan UU ITE dalam kasus ini. Hal ini karena ekspresi Zakki Amali melalui media serat.id adalah sebuah karya jurnalistik. Dengan demikian, Polda Jawa Tengah harus melimpahkan perkara Zakki Amali ke Dewan Pers sesuai Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers,” kata Anton tegas.