Logo

Ribuan Penyedia Jasa Pengobatan Tradisional tak Berizin

Reporter:

Senin, 06 August 2018 14:46 UTC

Ribuan Penyedia Jasa Pengobatan Tradisional tak Berizin

Ilustrator: Kharisma Gilang

JATIMNET.COM, Surabaya – Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur terus memelototi penyedia jasa pengobatan tradisional yang telah menjamur akhir-akhir ini. Dari data yang dikantongi Dineks Jatim saat ini telah beredar 16 ribu Penyehat Tradisional (Hattra) di Jatim.

Banyaknya jumlah Hattra tersebut rupanya masih belum diimbangi dengan kepatuhan dalam mengurus izin melalui Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT).

Seperti yang disampaikan Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Kesehatan Dinkes Jatim, dr Dian Islami M.Kes yang menyebutkan baru 4,8 persen yang sudah memiliki STPT dari total 16 ribu Hattra di Jatim.

“Kami sudah mengidentifikasi dan laporan dari Dinkes Jatim di kabupaten/kota. Masih sedikit yang sudah memiliki STPT, hanya 4,8 persen. Ini sangat sedikit sekali,” terangnya, Senin 6 Agustus 2018.

Menurutnya para penyedia jasa pengobatan tradisional harus memiliki STPT dan memiliki izin dari dinkes. Untuk memilikinya pun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.

“Mereka (Hattra, red) harus mengurus ke Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) kota/ kabupaten atau dikeluarkan dinkes setempat. Sementara STPT ini berlaku sampai dua tahun dan bisa diperpanjang,” jelasnya.

Aturan ini berlaku setelah muncul Permenkes No 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris. Tujuannya, agar pemerintah dapat mengawasi dan membina penyedia jasa pengobatan tradisional.

Saat ini Dinkes Jatim telah membentuk tim Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian (Binwasdal), yang sudah mengantongi Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Jatim dan SK dari Kepala Dinas Kesehatan Jatim.

“Ini untuk pengawasan dan pengendalian serta penertiban. Kami tidak sendiri, tapi dibantu dengan lintas sektoral, mulai dari pihak kepolisian hingga OPD,” imbuhnya.

Di Surabaya yang kini mulai menjamur pelayanan kesehatan tradisional, dr Dian memastikan bahwa Kota Surabaya paling aktif dalam melakukan pengawasan dan pengendaliannya.

“Kota Surabaya sangat aktif. Jadi, mereka juga sudah membina, memberikan teguran. Masalahnya ini juga mata pencarian mereka. Jadi tidak semata-mata langsung menutup. Semuanya butuh proses,” ulasnya.