Jumat, 04 September 2020 11:49 UTC
KOSONG. Depo peti kemas lini kedua milik PT Pelindo III tidak ada aktivitas pada, Kamis 4 September 2020, yang disebabkan penerapan SE 37/2020 dan pandemi Covid-19. Foto: Rochman Arief.
JATIMNET.COM, Surabaya – Pelaku usaha depo peti kemas yang tergabung dalam Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Asdeki) terancam gulung tikar seiring terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Nomor 37/2020.
Di dalam surat yang terbit pada 28 Agustus 2020 itu mengatur pemberian dispensasi masa penumpukan peti kemas di lapangan penumpukan (container yard) lini satu selama keadaan tertentu akibat pandemi Covid-19. Penerapan SE 37/2020 itu memperpanjang SE Nomor 20/2020 yang berlaku selama tiga bulan sejak diterbitkan pada 7 Mei lalu.
Ketua DPW Asdeki Jatim, Agung Kresno Sarwono mengaku terbitnya SE 37/2020 itu membuat pelaku usaha depo peti kemas atau kontainer terancam bangkrut. Sebab ancaman kerugian yang bakal dihadapi pelaku usaha dalam tiga bulan ke depan cukup besar.
“Kami meminta SE 37/2020 dicabut,” tegas Agung di kantor Asdeki, Jalan Tanjung Batu, Surabaya, Jumat 4 September 2020.
BACA JUGA: Manless Gate Operation Dorong Percepatan Layanan Berbasis Teknologi Digital
Pria yang pernah menjabat Direktur Operasional PT Terminal Teluk Lamong itu menegaskan akan tetap patuh pada kebijakan pemerintah. Tetapi Agung meminta agar ada etika hukum yang digunakan agar kebijakan tidak tumpang tindih.
“Jangan sampai kebijakan dari direktorat jenderal mengalahkan kebijakan yang dikeluarkan kementerian atau lembaga yang lebih tinggi,” Agung menambahkan.
Pernyataan ini merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 116/2016 yang salah satu poinnya menyebutkan agar dwelling time maksimal tiga hari. Sementara SE 37/2020 berpotensi memperpanjang dwelling time atau kontraproduktif dengan permenhub.
BACA JUGA: Kapal Curah Kering Raksasa Singgah di Teluk Lamong
Poin lain yang tercantum dalam SE 37/2020 adalah dukungan kepada pelaku usaha yang mengalami penurunan aktivitas usaha akibat Covid-19. Begitu juga dengan toleransi penumpukan peti kemas di lapangan penumpukan selama yard occupation ratio (YOR) atau batas toleransinya masih di bawah 65 persen dari total kapasitas.
“Saya kurang setuju. Layanan sekarang sudah cepat, sesuai protokol Covid-19, dan bisa daring. Jangan lupa, sekarang memasuki new normal. Sementara Permenhub 116/2016 dengan SE 37/2020 itu bertentangan” urai Agung.
Masa adaptasi baru atau new normal, lanjut Agung, bisa dibuktikan dengan penerbitan surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) dari Bea Cukai yang hanya butuh tiga hari. Artinya pengusaha sudah bisa mengeluarkan barang dari terminal hanya tiga hari.
BACA JUGA: Serapan Stimulus Pajak di Jatim Akibat Covid-19 Masih 15 Persen
“Jangan sampai semangat keluarnya SE 37/2020 membela satu kelompok pengusaha, tapi mengabaikan usaha yang lain,” terangnya.
Sejak keluarnya SE 20/2020, kerugian yang diderita anggota Asdeki Jatim rata-rata Rp250 juta per bulan selama periode Mei hingga Juli. Adapun penurunan volume peti kemas mencapai 80 persen dari rata-rata 300 per bulan. Sementara komponen kerugian mayoritas disebabkan mahalnya sewa peralatan, SDM, dan tarif listrik
“Masing-masing depo memiliki karakter yang berbeda, jadi kerugiannya tidak sama. Tapi kurang lebih sebesar itu (Rp250 juta per bulan),” terang pria yang pernah mengemban ilmu jasa kepelabuhanan di Korea Selatan itu.
DPW Asdeki Jatim telah menggandeng asosiasi pengusaha di pelabuhan Tanjung Perak dan s udah melaporkan ke Kadin Jatim terkait SE 37/2020. Sementara Kadin Jatim telah menindaklnjuti dengan mengirim surat ke Kantor Otoritas Pelabuhan (KOP) Tanjung Perak.