Senin, 20 August 2018 10:31 UTC
Ilustrator: GIlas Audi
JATIMNET.COM, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan fakta-fakta terkait keberhasilan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Pernyataan ini sekaligus menjawab pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan di Sidang Tahunan 16 Agustus di Gedung DPR/MPR/DPD.
Menurutnya, pidato tersebut lebih bermuatan politis dibanding fakta. Masalahnya Zulkifli Hasan adalah bagian dari pemerintah sebelum era Presiden Joko Widodo. Berikut beberapa pernyataan Sri Mulyani yang dimuat di akun Facebook pribadinya.
“Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (sebelum Presiden Joko Widodo). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu.
Sementara itu, 31,5 persen pembayaran pokok utang untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun, dan merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management). Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu.
Sementara jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 sebesar Rp 117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan sebesar Rp 25,6 triliun. Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat.
Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang sebesar Rp 396 triliun sedangkan anggaran kesehatan sebesar Rp 107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4 persen.
Bahkan di tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp 122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya turun jauh lebih besar, yakni 26,7 persen.
Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.
Bahkan kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih empat kali lipat dari 2009 ke 2018. Ini menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Saat ini pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (prudent) dan terukur (accountable). Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3 persen per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara.
Defisit APBN terus dijaga dari 2,59 persen per PDB tahun 2015, menjadi 2,49 persen tahun 2016, dan 2,51 persen tahun 2017. Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12 persen, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84 persen.
Begitu juga dengan defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Tahun 2015 defisit keseimbangan primer Rp 142,5 triliun, menurun menjadi Rp 129,3 triliun (2017) dan tahun 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp 64,8 triliun (outlook APBN 2018).
Tahun 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp 21,74 triliun. Sekali lagi ini menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak.
Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif. Artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak.
Tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang 49,0 persen (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), tahun 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7 persen!”