Selasa, 01 January 2019 13:11 UTC
Ilustrator: Cheppy Changgih
JATIMNET.COM, Jakarta - Hasil evaluasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan terjadinya letusan Surtseyan dengan frekuensi sangat minim (2 jam sekali), dan catatan kegempaan yang menunjukkan penurunan.
Hal tersebut menunjukkan potensi untuk timbulnya tsunami dari aktivitas Gunung Anak Krakatau sangat kecil.
"Aktivitas letusan menurun sehingga resiko juga menurun, resiko letusan besar hampir tidak ada," kata Sekretaris Badan Geologi, Antonius Rardomopurbo (Purbo) dalam laman esdm.go.id, Senin 31 Desember 2018.
Purbo mengatakan status Gunung Anak Krakatau masih Siaga (Level III) dengan rekomendasi untuk tidak memasuki area dalam radius 5 km dari Kawah.
"Masuk mendekat ke Komplek Krakatau tidak direkomendasikan," katanya.
BACA JUGA: Erupsi Gunung Anak Krakatau Berhenti Total
Menurut Purbo, meskipun ancaman tsunami dari proses longsor sangat kecil, direkomendasikan kepada BMKG dan BNPB untuk memasang instalasi peringatan dini mitigasi bencana di Pulau Rakata.
"Pilihan Pulau Rakata ini didasarkan pertimbangan dari sebaran struktur geologi yang ada di Selat Sunda," ujarnya.
Aktivitas erupsi dengan laju besar pada tanggal 26-27 Desember 2018 telah menyebabkan puncak Gunung Anak Krakatau yang terbangun sejak 1950 telah hilang.
BACA JUGA: Ahli: 100 Gunung Di Dunia Di Ujung Letusan Masif
Sebagian ikut terletuskan dan sebagian dilongsorkan. Puncak aktivitas letusan sudah terjadi mulai tanggal 26 Desember dan selesai 27 Desember pukul 23.00 WIB
Saat ini bagian Gunung Anak Krakatau yang tersisa mempunyai ketinggian 110 meter di atas permukaan laut (semula 338 meter dpl). Karena kawah berada di bawah permukaan air laut, saat ini letusan bertipe Surtseyan.
Posisi kawah yang berada di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air laut menjadikan tipe letusan berubah dari Strombolian ke Surtseyan.
Letusan jenis ini tidak akan menimbulkan tsunami karena terjadi di permukaan air dan material cenderung terlempar ke udara secara total.