Logo

Lebih Sedap dan Gurih, Tempe Daun Khas Oleh-oleh Banyuwangi

,

Sabtu, 09 February 2019 12:15 UTC

Lebih Sedap dan Gurih, Tempe Daun Khas Oleh-oleh Banyuwangi

Tempe khas Banyuwangi yang diolah dengan bungkus daun pisang. Foto: Ahmad Suudi

JATIMNET.COM, Banyuwangi - Tempe berbungkus daun pisang yang diproduksi di Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi sering menjadi buah tangan warga setempat hingga wisatawan luar daerah. Aroma sedap dan kemasan dari daun pisang hijau tua menimbulkan kesan yang natural hingga banyak orang terpikat.

Misalnya Diana Zulfani, seorang warga Dusun Krajan, Desa Gintangan, yang mengaku mencintai tempe daun pisang produk andalan desanya itu. Dia mengatakan rasa tempe berbungkus daun pisang lebih gurih dibandingkan yang berbungkus plastik.

"Kalau pakai daun itu lebih khas, lebih sehat dan alami. Sedangkan yang plastik cenderung tercampur dengan bahan kimia, kan plastiknya terbuat dari bahan kimia," kata Diana, Sabtu 9 Februari 2019.

BACA JUGA: Banyuwangi dan BRI Kolaborasi Garap Startup Pertanian

Diceritakannya banyak tetangga dan saudara yang juga sangat menyukai tempe bungkus daun pisang. Terutama warga Desa Gintangan sendiri yang bangga akan produk lokal.

Ia sendiri mengaku sering membawa buah tangan berupa isi sekitar 50 bungkus saat berkunjung ke rumah kerabat. Dia mengatakan selalu mendapatkan sambutan baik dan pujian dari tuan rumah atas oleh-oleh tempe bungkus daun yang dibawanya.

"Dan kebanyakan yang saya bawakan ketagihan, minta dibawakan lagi," ujar Diana.

BACA JUGA: Banyuwangi Hadirkan Sport Tourism di Kebun Coklat

Belasan pembuat tempe bungkus daun pisang di Desa Gintangan berproduksi setiap hari, salah satunya Sutihat (60). Mencuci kedelai, merebus, menggiling, merendam selama 1 malam, membersihkan, mengukus, memberi ragi dan membungkus kedelai menjadi kegiatannya sehari-hari sejak dirinya masih muda. 

"Tempenya jadi 4 hari setelah direbus. Setelah itu akan tahan selama 5 hari. Lebih awet karena dimasak 2 kali dan tanpa bahan kimia," kata Sutihat.

Warga Dusun Kedungbaru itu membuat 750 bungkus tempe dari 15 kilogram kedelai dan 37 bendel (ikat) daun pisang. Jelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha pesanan selalu meningkat, hingga dia harus membungkus 1 kwintal kedelai per hari.

BACA JUGA: Banyuwangi Akan Gelar 99 Festival Sepanjang 2019

Tak ada kesulitan baginya untuk mendapatkan bahan baku kedelai impor dengan harga Rp 7.500 per kilogram. Namun daun pisang yang mulai sulit didapatkan hingga harus membeli dari desa lain dengan harga Rp 1.000 per bendel. Lebih mahal dari pada plastik Rp 2 ribu yang bisa dipakai untuk ratusan bungkus tempe.

"Semua pembuat tempe di sini masalahnya sama, sulit dapat daun pisang dan di saat harga kedelai naik. Mau naikkan harga tempenya nggak tega," kata Sutihat lagi.

BACA JUGA: Banyuwangi Siapkan 30 Atraksi Wisata Khusus untuk Milenial

Sutihat menjalankan usaha produksi tempe itu bersama keluarga, Suhairi (70) sang suami, 2 orang anak dan seorang menantu perempuan. Beberapa pelanggan mengambil langsung ke rumahnya, sebagian lain diantar ke toko-toko kelontong mereka dengan harga kulakan Rp 400 per biji.

Bungkusan-bungkusan tempe lonjong itu memanjang tak sampai sejengkal tangan orang dewasa, yang dijual ecer Rp 500 per biji. Biasanya diolah menjadi berbagai menu makanan, dari digoreng, sambal goreng, botok, hingga sayur santan tempe.

"Yang kerja di Bali sering beli untuk dibawa ke sana. Banyak juga warga kabupaten lain pulang membawa tempe yang kami buat," pungkas Sutihat.