Kamis, 08 October 2020 03:00 UTC
Ilustrasi Gempa. Pembuat Ilustrasi: Gilas Audi.
JATIMNET.COM, Surabaya - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Rabu 7 Oktober 2020 malam menggelar rapat koordinasi nasional (Rakornas) secara virtual. Rakornas tersebut membahas antisipasi bencana Hidrometeorologi dan Gempabumi-Tsunami Tahun 2020/2021.
Dalam Rakornas ini mengambil tema ”Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempa dan Tsunami 2020/2021 untuk mewujudkan Zero Victims”. Sesuai dengan tema-nya, bahwa berdasarkan data monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG, sejak tahun 2017 telah terjadi trend peningkatan aktivitas gempa di Indonesia dalam jumlah maupun kekuatannya.
Kejadian gempabumi sebelum tahun 2017 rata-rata hanya 4000-6000 kali dalam setahun, yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 sekitar 200-an. Namun setelah tahun 2017 jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7000 kali dalam setahun. Bahkan tahun 2018 tercatat sebanyak 11920 kali dan tahun 2019 sebanyak 11588 kejadian gempa.
“Ini bukan lagi peningkatan, tapi sebuah lonjakan yang cukup signifikan. Dengan data dan fakta bahwa kejadian tsunami yang terjadi di dunia sebagian besar dipicu oleh gempabumi tektonik, tentunya trend kejadian gempa yang melonjak ini juga mengakibatkan meningkatnya potensi tsunamim," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, seperti rilis yang diterima jatimnet.com, Rabu, 7 Oktober 2020.
"Sehingga perlu diperkuat kehandalan Sistem Mitigasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami, mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempabumi,” Dwikorita menambahkan.
Lain daripada itu, fakta menunjukkan tsunami tidak hanya dipicu oleh gempabumi tektonik. Pada Desember 2018, terjadi peristiwa typical tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api di laut yang menurut statistik, kejadian tsunami tersebut sangatlah langka yaitu sebanyak 5 persen dari total kejadian tsunami di dunia.
Berdasarkan data tersebut, Dwikorita menjelaskan mitigasi serta peringatan dini gempabumi dan tsunami serta cuaca dan iklim ekstrem merupakan hal yang mendesak untuk dipersiapkan dan diperkuat. Masalah dan gap antara pusat dan daerah harus segera diidentifikasi untuk meningkatkan efektivitas dalam mewujudkan Zero Victims .
“Sebagai contoh, pada tanggal 6 Oktober kemarin kami baru saja melaksanakan gladi evakuasi tsunami IOWave 20 yang diselenggarakan secara nasional dan internasional. Di situ teridentifikasi ternyata beberapa sirine tsunami tidak berfungsi, sementara untuk memperbaiki atau mengganti sudah tidak ada yang menyediakan suku cadangnya," ia menjelaskan.
Menurutnya, hal ini menjadi masalah teknis atau mikro tapi dampaknya bisa besar sehingga perlu koordinasi yang lebih baik antara pusat dengan daerah, antara BNPB sebagai Koordinator dengan Kepala Daerah atau BPBD.
“Sehingga mari kita rumuskan bersama alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang nanti akan teridentifikasi dan pada akhirnya akan kita rumuskan rencana aksi bersama untuk mewujudkan Zero Victims dalam menghadapi multi-bencana hidrometeorologi, gempabumi, dan tsunami,” pungkas Dwikorita.