Kamis, 06 December 2018 01:21 UTC
Rapat pengajuan Perda KTR oleh Dinas Kesehatan Surabaya di Ruang Komisi D Gedung DPRD Surabaya. FOTO: Khoirotul Latifiyah.
JATIMNET.COM, Surabaya – Ketua Panitia Khusus Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Junaedi mengusulkan Dinas Kesehatan Surabaya dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merapatkan ulang terkait rancangan peraturan daerah (raperda) tersebut.
“Karena kami belum menerima laporan yang lengkap terkait raperda yang sudah ada, kami mencoba untuk meminta keterangan tentang maksud dan tujuan terkait perda KTR yang diusulkan Pemkot Surabaya,” kata Junaedi saat diwawancarai pasca rapat di ruang Komisi D Gedung DPRD, Rabu 5 Desember 2018.
Junaedi menjelaskan bahwa pengajuan penegakkan perda KTR ini bertujuan agar Kota Surabaya memiliki kawasan tanpa rokok demi terciptanya lingkungan yang bersih. Selain itu, bahaya merokok harus segera diatasi di Kota Surabaya.
Jika tidak dibatasi, masyarakat perokok pasif akan terganggu oleh asap rokok. Namun sebelum penegakan ini ditetapkan, Pemkot Surabaya harus memberikan laporan dan data pendukung terkait penegakan KTR.
“Kami akan melakukan pembahasan ulang terkait penegakan KTR, karena belum ada kesiapan dari Pemkot Surabaya dalam rapat hari ini. Apalagi tahun 2016 lalu perda KTR sempat dikembalikan pada DPRD dengan alasan belum terlaksana efektif,” urainya.
Junaedi juga menyoroti ketidakhadiran kepala dinas dengan alasan cuti. Hal ini yang menyebabkan DPRD Surabaya belum menerima laporan secara menyeluruh.
Dalam rapat selanjutnya akan dibahas mengenai naskah akademis dan tujuan ditegakkannya perda KTR, selain membahas mengenai bahaya merokok dan dampak yang disebabkan rokok. Salah satunya adalah sanksi bagi perokok yang melanggar peraturan akan dikenakan denda.
Terdapat 15 sampai 16 pasal termasuk sanksi perokok yang merokok di kawasan terlarang. Semisal di ruang kerja akan ditetapkan denda oleh Pemkot Surabaya sebesar Rp 250 ribu.
“Namun denda ini belum pasti besarannya, pada rapat selanjutkan akan dibahas lebih lanjut tentang besaran denda. Apakah Rp 250 ribu itu ketetapan dari pemkot atau mengacu pada kota-kota lain,” pungkas Junaedi.