Kamis, 25 June 2020 08:40 UTC
Ilustrasi. KAMPUNG TANGGUH. Mega Arista, warga Jalan Lidah Kulon RT 06 / RW 03, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri Surabaya mendapat dukungan dari warganya yang di tempat tinggalnya adalah sebagai Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo.
JATIMNET.COM, Surabaya - Penanganan, antisipasi sebaran Covid-19 di Surabaya terdapat suka duka para petugas. Terutama yang melakukan tracing atau pelacakan warga terpapar Covid-19, ternyata menyimpan segudang cerita.
Seperti, data yang dikirim dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya ternyata tidak sinkron atau pun double, hal ini membuat petugas di lapangan mengalami kesulitan melakukan pelacakan.
Walaupun data itu sudah disebar ke tingkat Puskesmas dan masing-masing Kecamatan untuk melakukan tracing Covid-19. Namun, masih saja menjadi kendala, para petugas. Seperti yang dialami Camat Genteng, Linda Novanti, ia menceritakan pengalamannya dalam melakukan tracing.
Perjuangannya melakukan tracing menemukan warga yang terkonfirmasi Covid-19 tidaklah mudah. Sebab, kerap kali data yang diterima dari provinsi melalui Dinkes Surabaya tidak sesuai dengan kependudukan warganya. Bahkan, pernah ada dua nama yang usianya beda pula. Namun, tertulis di alamat yang sama.
BACA JUGA: Sepenggal Kisah Suksesnya 'Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo' di Kota Pahlawan
Setelah dilakukan pelacakan dengan pihak puskesmas dan jajarannya, ternyata dua nama itu hanya ada satu orang yang sama, dan sudah tidak tinggal di Kota Surabaya. “Setelah kita sisir, ternyata orang tersebut hanya ada satu orang dan sudah tidak tinggal di Surabaya selama tiga bulan,” kata Linda, Kamis 25 Juni 2020.
Warga tersebut mengakui sudah bekerja di luar kota dan pulang ke Surabaya hanya untuk menjalani pengobatan. “Artinya, di sini hanya ada satu warga, bukan dua. Tapi data yang kami terima itu ada dua orang. Datanya itu tertulis double. Kami sudah lakukan verifikasi dan sudah beres,” ia mengungkapkan.
Kisah lain juga datang dari Camat Wonokromo, Tomi Ardiyanto. Ia mengakui sering menemukan data tidak sinkron antara KTP yang terdaftar dengan domisili berbeda, seperti yang dialaminya ketika mencari data warga berinisial A. Setelah ditelusuri, ternyata warga tersebut sudah 30 tahun tidak tinggal di Surabaya.
“Dan itu seringkali kami temukan. Kami butuh waktu untuk menemukan pergerakan orang itu. Karena secara administrasi kependudukannya itu ada. Tapi tidak tinggal di sana, dan kami sudah tanyakan kepada warga setempat, RT/RW dan juga tetangga dekatnya,” kata Tomi.
BACA JUGA: Berulangkali Data Tracing Dikembalikan ke Pemprov, Ini Alasannya
Setelah melakukan verifikasi data tapi tidak ditemukan, maka langkah berikutnya adalah membuat berita acara atau surat keterangan. Dalam surat keterangan tersebut dilaporkan bahwa warga atas nama A itu tidak ada dalam wilayahnya itu.
“Kadang juga ada rumahnya yang kosong. Jadi, surat itulah yang menjadi dasar pemerintah kota kalau sudah melakukan verifikasi dan klarifikasi tentang keberadaan pasien konfirmasi Covid-19 itu,” ia menjelaskan.
Senada dengan itu, cerita yang nyaris sama juga dirasakan oleh Camat Tambaksari, Ridwan Mubarun. Ia bercerita pada tanggal 1 Juni 2020, salah seorang warganya dari Kecamatan Tambaksari ternyata terkonfirmasi Covid-19 setelah melewati tes swab. Setelah itu, warga tersebut menjalani karantina di Hotel Asrama Haji selama 14 hari. Kemudian, dia dites swab lagi dan hasil negatif.
“Tapi namanya masih saja muncul sebagai orang yang positif. Dia ternotifikasi dua kali, sehingga itu menambah jumlah pasien Covid-19 yang ada di Kota Surabaya,” kata Ridwan.
BACA JUGA: Meski Positif Covid-19, Pasien Disarankan Tetap Tenang dan Bahagia
Ketidaksinkronan data juga dirasakan oleh Camat Sawahan, Yunus, yang mengakui saat warganya sudah dinyatakan sembuh dan sudah dilaporkan, namun nama itu seringkali muncul kembali. Kemunculannya itu tidak hanya dalam satu dua hari saja, tapi nama itu muncul lagi setelah satu minggu berikutnya, padahal dia sudah dinyatakan sembuh.
“Jadi, terkait data yang double itu nyata adanya. Kalau selisih sehari dua hari tidak ribet. Tapi kalau sudah seminggu atau sepuluh hari muncul lagi, nah ini sangat ribet. Ada yang sudah dilaporkan, tapi muncul lagi, dilaporkan lagi, muncul lagi. Ini kan aneh,” ia menandaskan.
Camat Karang Pilang, Eko Budi Susilo juga menjelaskan berbagai kendala yang dialaminya. Namun, ia mengakui bahwa berbagai kendala itu tak menyurutkan niatnya untuk gencar melakukan tracing di wilayah Karang Pilang. Bahkan, kerap kali saat tracing ia mengalami penolakan dari warga.
“Ada yang confirm Covid-19 tapi sama anggota keluarganya malah diumpetkan (disembunyikan). Tapi kami terus berupaya dan berkunjung, hingga akhirnya kami berhasil mengatasinya,” ia memungkasi.