Logo

Skema Kerja Sama Gross Split Butuh Penyempurnaan

Reporter:,Editor:

Sabtu, 16 February 2019 12:47 UTC

Skema Kerja Sama <em>Gross Split</em> Butuh Penyempurnaan

Dibutuhkan skema kerja sama yang lebih sempuran untuk memberi keuntungan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun investor. Foto: Ilustrasi/ Dok.

JATIMNET.COM, Surabaya – Pakar Kebijakan Energi Satya W. Yudha menilai perlu ada perbaikan pada beberapa kebijakan gross split atau bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas. Jangan sampai sistem pembiayaan pengelolaan minyak ini justru menjadikan investor kabur.

Gross split ini bagaimana partisipasi kontraktor yang berinvestasi di Indonesia dengan skema itu. Misalkan penerapannya disukai, bisa dilanjutkan. Bila investor menolak, tinggal dimodifikasi,” ujar Satya dalam focus group discussion ‘Memaksimalkan Potensi Migas Nasional dalam Rangka Membangun Kemandirian Energi’ yang diselenggarakan Ikatan Alumni (IKA) ITS di kampus ITS, Sabtu 16 Februari 2019.

Gross spilt sudah sudah lama diterapkan pemerintah RI. Kala itu masih bernama Production Sharing Cost (PSC), yakni sama-sama bagi hasil dengan investor. Bedanya, ungkap Satya, cost recovery yang menjadi pengembalian biaya operasi dalam bisnis hulu migas dihilangkan jika memakai skema gross split.

Perbedaan inilah yang menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI itu dengan sistem gross split lebih menguntungkan negera. Pasalnya pemerintah sudah tahu berapa penerimaan bersih sejak pertama kontrak dilakukan. Tidak perlu menerka berapa cost recovery yang dikeluarkan.

BACA JUGA: Jatim Sumbang 30 Persen Produksi Migas Nasional

“Tetapi harus betul-betul melihat apa saja kekurangan dari gross split. Teorinya tidak salah, tapi apa saja yang harus dibenahi,” ungkapnya.

Salah satu yang disoroti adalah tentang ketidakpastian hukum. Pria yang juga legislator IX Bojonegoro-Tuban itu meminta konsistensi pemerintah membuat aturan teknis. Salah satunya pajak pemerintah daerah yang tidak akan membebani kontraktor ketika telah dilaksanakan kontrak kerja.

Investor tidak bisa berbuat apa-apa apabila ada pajak tambahan yang dibebankan pemerintah daerah yang tidak terdapat dalam kontrak. Investor tetap harus membayarnya. Berbeda ketika yang digunakan adalah PSC, perubahan pajak dapat digantikan kepada pemerintah sesuai aturan yang berlaku.

Gross split harus disempurnakan. Karena kalau tidak easy going business (kemudahan berbisnis), akan bagus secara menyeluruh, namun tidak untuk migas," bebernya.

BACA JUGA: Cadangan Migas Indonesia Capai 800 Juta Barel

Sementara itu, Guru Besar ITS Mukhtasor mengatakan ada catatan penting yang perlu dilihat tentang gross split. Yaitu semuanya yang ditandatangani dengan skema ini rata-rata adalah lapangan atau ladang minyak lama.

“Tapi kalau dihubungkan dengan kemandirian (pemenuhan dalam negeri), gross split yang harus dicermati adalah kebebasan atau pengawasan itu tidak ada, bagaimana memastikan kontribusi dalam negeri (negara) dalam ketersediaan migas,” kata anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014.

Pada aturan sebelumnya selalu ada konten lokal yang meliputi sumber dayanya dan pekerjanya harus lokal. Tetapi begitu pengawasan tidak ada bagaimana memastikan rencana tentang kemandirian migas.

Gross split memangkas peran SKK Migas. Lembaga yang bergerak di hulu migas ini tidak lagi terlalu jauh turut campur pengawasan. Hanya sebatas memiliki nilai pengaruh, seperti standar tenknik seperti diameter sumur atau kapal yang digunakan. Soal kontrak atau besarannya tidak memiliki wewenang me-review.