Rabu, 31 October 2018 14:07 UTC
Ilustrasi. Setop buang sampah di laut. Desain oleh Gilas Audi.
JATIMNET.COM, Surabaya - Ratusan pejabat dari 89 negara bertemu dalam satu forum untuk membahas bahaya pencemaran laut di Nusa Dua, Bali selama dua hari, 31 Oktober-1 November 2018. Hasil pertemuan itu akan dituangkan menjadi Deklarasi Bali, yakni sebuah dukungan nyata terhadap perlindungan dan pelestarian ekosistem laut, khususnya dari ancaman sampah plastik.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, melalui situs resmi kementerian, mengatakan Indonesia berkomitmen mengimplementasikan kesepakatan global. Apalagi 80 persen pencemaran laut berasal dari aktivitas manusia di daratan.
World Wide Fund for Nature, organisasi non pemerintah di bidang konservasi lingkungan, menyebut sampah itu terdiri dalam beragam bentuk. Dari kantong plastik, tumpahan minyak, hingga pestisida. Benda-benda itu sampai di laut melalui saluran air, sungai, maupun terbuang langsung.
Di Indonesia, kasus minyak tumpah di laut pernah terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur akhir Maret 2018 lalu. Ratusan nelayan tak bisa melaut, sejumlah biota laut dilaporkan mati tercemar minyak.
Tumpahan minyak menyebabkan kerusakan besar bagi ekosistem laut. Meski demikian, WWF menyebut tumpahan minyak hanya mencapai 12 persen dari kasus pencemaran laut di dunia tiap tahun. Sumber pencemaran laut lainnya berasal dari pupuk, limbah, bahan kimia beracun, dan sampah plastik.
Selama bertahun-tahun, laut menjadi tempat pembuangan sampah dari daratan. Sampah, apapun bentuknya; dari kantong plastik, balon, botol kaca maupun plastik, sepatu bekas, jika tak dibuang di tempat yang tepat, hampir dipastikan berakhir di laut.
BACA JUGA: Menteri Lingkungan Sedunia Berkumpul Di Bali Bahas Sampah Laut
Dalam laporannnya pada 2018, berjudul Single-Use Plastic: A Roadmap for Sustainabilty, The United Nations Environment Programme (UNEP), produksi plastik dunia terus bertambah melebihi produk lain sejak 1950. Tercatat lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi tiap tahun di seluruh dunia. Sebagian besar plastik itu dibuat untuk kemasan sekali pakai, dan akibatnya, sampahnya berjibun hingga setengah dari sampah plastik dunia.
Produksi plastik dunia sejak 1950. Sumber Single-Use Plastic: A Roadmap for Sustainabilty, The United Nations Environment Programme (UNEP) 2018.
Sampah plastik sangat sulit terurai. Butuh waktu sekitar seribu tahun untuk sebuah kantong plastik bisa hancur. Berbeda dengan logam, plastik tak bisa berkarat dan hancur. Malah, plastik cenderung terpotong menjadi bagian sangat kecil yang disebut mikroplastik.
Dalam sejumlah kasus, wujud kantong plastik di lautan mirip ubur-ubur. Tampilan itu memancing hewan laut, semisal kura-kura, lumba-lumba, dan paus memakannya. Akibatnya, hewan itu mengalami gangguan pencernaan, pernafasan, bahkan berujung pada kematian.
Sebagian besar orang menduga lautan sangat luas sehingga semua limbah akan larut dan hancur di sana. Nyatanya tidak. Justru sampah di laut itu, baik dalam bentuk sampah mikroplastik dan limbah kimia, terkumpul dalam rangkaian rantai makanan.
Sebutlah satu contoh, plankton menyerap bahan kimia yang mencemari lautan. Karena tak terurai, barang berbahaya itu terakumulasi dalam tubuh organisme ini. Berikutnya hewan itu disantap oleh hewan yang lebih besar, ikan. Maka barang berbahaya di tubuh plankton turut masuk ke dalam tubuh ikan, bercampur dengan mikroplastik yang mungkin juga termakan.
Berikutnya, ikan-ikan itu dimakan anjing laut atau beruang kutub, yang secara otomatis juga menelan limbah yang ada di tubuh santapannya. WWF menyebut, dalam rantai makanan seperti itu, beruang kutub yang menyantap anjing laut memiliki tingkat kontaminasi hingga tiga miliar lebih tinggi dari pada lingkungan sekitarnya.
Bayangkan jika ikan di lautan yang terkontaminasi dikonsumsi manusia. Bermacam jenis penyakit bisa jadi akan muncul pada kemudian hari. Maka, cara terbaik untuk menghentikan ancaman itu adalah berhenti membuang sampah ke laut.