Logo

Kredit Pertanian Dinilai Berisiko Tinggi

Reporter:,Editor:

Kamis, 29 November 2018 15:35 UTC

Kredit Pertanian Dinilai Berisiko Tinggi

Ilustrasi. Foto: Istimewa

JATIMNET.COM, Surabaya-Banyaknya lahan di Jawa Timur yang belum memiliki sertifikat tanah cukup menyulitkan bagi petani untuk mendapatkan kredit dari perbankan. Sebab, dunia pertanian masih dianggap memiliki risiko besar dalam penyaluran kredit.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan, lahan yang baru tersertifikatkan sebanyak 7 juta hektare dari 11 juta hektare. "Baru 42 persen tanah kita yang disertifikat," ujar gubernur yang akrab disapa Pakde Karwo tersebut, Kamis 29 November 2018. 

Pakde Karwo menilai itu menjadi salah satu penyebab kenapa lending kredit pada sektor pertanian baru 8,23 persen. Maka dari itu, intervensi pemerintah diperlukan. Seperti yang dilakukan Pemprov Jawa Timur lewat Bank UMKM dan Jamkrida. Hanya saja, upaya tersebut dianggap belum cukup.

BACA JUGA: Indonesia dan Malaysia Kerjasama Riset Pangan, Pertanian dan Energi

"Kurang cukup wong hanya Rp 2,3 trilliun. Itu kurang cukup. Ya pemerintah kemudian harus melakukan langkah untuk pembiayaan pasar, ini harus diintervensi. Pemerintah pusat hingga daerah harus ikut," bebernya. 

Dia mencontohkan intervensi pemerintah daerah seperti Pemerintah Kabupaten Jombang. Ada program penyaluran bantuan pinjaman dalam APBD untuk para petani yang dikucurkan lewat Bank Perkreditan Rakyat (BPR). 

"Sumbangan sektor pertanian (pada PDRB), on farm, karena administrasi pembangunan kita dinilai di on farm. Itu 12,33 persen. Tapi kalau proses produksinya itu 31 persen," lanjutnya. 

Sebelumnya, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Timur Difi Ahmad Johansyah dalam pertemuan Tahunan Bank Indonesia, Rabu 28 November 2018 mengatakan, masalah pertanian masih pekerjaan rumah besar bagi Bank Indonesia. Hingga sekarang belum ada jalan keluar agar risiko di sektor pertanian tidak dipandang tinggi. 

Kendati demikian, Difi menyebutkan, saat ini tengah berupaya memperkecil risiko tersebut melalui produktivitas petani. "Kami berupaya agar risiko yang itu bisa kita minimalisir, sehingga pertanian itu memiliki istilahnya daya tarik dari sektor lain," kata Difi.