Logo

FKBI Ramai-ramai Protes Kebijakan Menteri LHK

Reporter:

Sabtu, 22 September 2018 04:11 UTC

FKBI Ramai-ramai Protes Kebijakan Menteri LHK

Aksi ProFauna memperingati Hari Kakatua Indonesia di depan Balai Kota Malang, Jumat, 14 September 2018. Foto: ProFauna

JATIMNET.COM, Surabaya – Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI) memprotes kebijakan Menteri LHK Nomor 92 Tahun 2018 yang merevisi peraturan sebelumnya, P.20/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

FKBI protes karena kebijakan tersebut mengeluarkan lima jenis burung, kucica hutan, cucak rawa, jalak suren, Anis-bentet Kecil (Colluricincla megarhyncha) dan Anis-bentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), yang dalam lampiran P.20/2018 statusnya dilindungi.

Namun, peraturan itu kemudian diubah karena ada tuntutan dari penghobi/pebisnis burung yang menuntut Kementerian LHK mencabut atau merevisi P.20/2018 dengan keluarnya P.29/2018 pada 20 September 2018.

FKBI yang terdiri dari 150 organisasi/lembaga dan 44 perorangan di seluruh Indonesia memprotes keras kebijakan Menteri LHK yang merevisi P.20/2018 karena tanpa dukungan kajian ilmiah yang memadai dan kontroversial.

Menurut Rosek Nursahid, yang mewakili Organisasi ProFauna Indonesia mengatakan bahwa, Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menampilkan sebaran penelitian antara tahun 2001-2014, Cucak Rawa dan Jalak Suren tidak ditemukan di habitat alaminya, sedangkan kucica hutan/murai batu hanya ditemukan di 4 (empat) lokasi. Atas dasar itulah, LIPI merekomendasikan tiga jenis burung berkicau itu dengan status satwa dilindungi karena besarnya resiko kepunahan di habitat alaminya.

Sementara itu, berdasarkan catatan Burungnesia, antara tahun 2016-2018, 1300 relawan pengamat burung telah mengunjungi 1772 lokasi di Jawa, 260 lokasi di Kalimantan, dan 277 lokasi di Sumatera. Dari lokasi-lokasi tersebut, hanya ditemukan 15 ekor kucica hutan di 11 lokasi, 4 (empat) ekor jalak-suren jawa di tiga lokasi, dan tidak menemukan cucak rawa.

Sedangkan menurut telaah FKBI, dua burung lainnya yang dikeluarkan dari daftar status dilindungi, Anis-bentet Kecil (Colluricincla megarhyncha) dan Anis-bentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), bukanlah jenis yang saat ini dilombakan dan belum ditangkarkan.

 Anis-bentet Kecil memiliki beberapa anak-jenis dengan sebaran terbatas dan endemis di pulau-pulau kecil di Papua dan Papua Barat. Sedangkan Anis-bentet Sangihe merupakan jenis endemis yang hanya bisa ditemukan di Pegunungan Sahendaruman di Pulau Sangihe dengan populasi 92-255 ekor (2009), sehingga berstatus Critically Endangered.

“Dikeluarkannya jenis burung dari status perlindungan merupakan tindakan semena-mena Menteri LHK tanpa dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan,” ujar Rosek.

FKBI berpendapat dikeluarkannya P.92/2018 merupakan peraturan yang tendensius untuk mengakomodasi permintaan pebisnis dan pihak tertentu tanpa dasar ilmiah dan mengesampingkan fakta menurunnya populasi di alam, dan/atau kepunahan di alam.