Logo

Asa Warga Dolly Bebas Rumah Musik Ilegal

Reporter:

Jumat, 31 August 2018 14:00 UTC

Asa Warga Dolly Bebas Rumah Musik Ilegal

Sejumlah warga Jarak Dolly melakukan unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri dengan tuntutan menolak class action yang diajukan dua kelompok, FPL dan KOPI. FOTO: Fahmi Aziz.

JATIMNET.COM, Surabaya – Belasan ibu-ibu pelaku UMKM asal kawasan eks lokalisasi Dolly Jarak-Putat Jaya mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sekitar pukul 09.00 WIB, Jumat, Agustus 2018.

Mereka tergabung dalam Forum Komunikasi Warga Jarak Dolly (Forkaji) dengan membawa berbagai atribut unjuk rasa dibentangkan. Salah satu poster bertuliskan “Kami menolak semua kegiatan kelompok yang mengatasnamakan warga Jarak Dolly yang dianggap meresahkan”.

Maksud dari pernyataan itu merujuk ke aksi kelompok lain yang mengajukan gugatan class action ke PN. Diketahui kelompok itu mengatasnamakan diri sebagai warga Jarak Dolly yang tergabung dalam Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Pemuda Independen (KOPI).

Dalam tuntutannya, Pemkot Surabaya diminta mengganti rugi sebesar Rp 270 miliar atas dugaan perampasan hak perekonomian serta meminta PN untuk memutuskan pelegalan rumah musik di bekas kawasan Jarak-Putat Jaya.

Humas Forkaji Kurnia Cahyanto (41) menjelaskan, sebenarnya FPL dan KOPI adalah pemilik rumah karaoke ilegal di perkampungan kawasan Dolly. Mereka mengajukan class action lantaran merasa terintimidasi seringnya Pemkot Surabaya melalui Satpol-PP melakukan razia rumah musik atau karaoke yang tidak mengantongi izin.

“Mereka merasa terdiskriminasi. Sebab ada karaoke di luar kawasan Dolly mengantongi izin operasi, sementara miliknya tidak mengantongi izin operasi,” jelas Kurnia, saat aksi unjuk rasa.

Menurut dia, diduga izin itu memang sengaja tidak dikeluarkan Pemkot Surabaya karena lokasi rumah musik mereka berada di tengah perkampungan. Sehingga tentu mengganggu masyarakat sekitar dengan aktivitas operasional rumah musik itu. Ia merinci sekitar lima tempat karaoke di dua RW kawasan lokalisasi Dolly yang dipaksa tidak lagi berkativitas.

Kurnia juga menolak semua tudingan yang diajukan oleh penggugat. Termasuk anggapan Pemkot Surabaya melakukan pembiaran terhadap revitalisasi perekonomian warga Dolly pasca ditutup Juni 2014. Pihaknya memiliki bukti konkret untuk membantah tudingan itu.

“Saat ini ada sekitar 200-300 warga Dolly yang dijadikan tenaga outsourcing di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot Surabaya. Ada di Dinas Sosial dan lainnya,” jelas Kurnia. Selain itu, bagi anak-anak kurang mampu yang putus sekolah bisa kembali melanjutkan pendidikannya tanpa dipungut biaya.

Poster yang dibentangkan warga sebagai bentuk penolakan adanya kegiatan rumah esek-esek di kawasan Jarak Dolly. FOTO: Fahmi Aziz.
KTP dan poster yang dibentangkan warga merupakan bentuk penolakan adanya kegiatan rumah karaoke dan esek-esek di kawasan Jarak Dolly. FOTO: Fahmi Aziz.

Semuanya sudah disampaikan kepada PN dalam audiensi yang dilakukan pihaknya Kamis, 30 Agustus 2018. Nantinya, hasil audiensi itu dijadikan bahan pertimbangan diterima atau tidaknya gugatan class action tersebut.

“Kalau nantinya class action itu dikabulkan, dan dalam persidangan mereka menang, investor pasti akan kembali untuk membangun lokalisasi Dolly,” paparnya. Dimulai dari rumah karaoke dan terus berkembang hingga kembali aktif seperti dulu.

Di tempat yang sama, Ketua RT 5 RW 3 Putat Jaya, Nirwono Supriadi (47) yakin lokalisasi Dolly akan kembali hidup. “Di lingkup yang lebih luas, bekas kawasan (lokalisasi) Jatim lainnya akan hidup. Karena Dolly-Jarak merupakan barometer keberlangsungan usaha esek-esek di provinsi ini,” tutur Nirwono, saat aksi.

Selain itu, butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengubah pola pikir (mindset) warga eks lokalisasi untuk berpindah mencari sumber penghidupan yang halal. Dulu mudah sekali mencari pemasukan dari menyewakan kediamannya sebagai tempat beroperasi rumah musik hingga rumah bordil. Saat ini, meski pemasukan tidak seberapa, keadaan lingkungan mereka lebih tenang dan sehat.

“Seperti di tempat saya RT 5, dulunya dari 61 rumah, hampir 97 persennya digunakan sebagai operasional usaha esek-esek. Tapi setelah empat tahun ini, jadi 0 persen. Karena kami sudah sama-sama melakukan kesepakatan tertulis untuk bersih dalam usaha tersebut,” jelasnya.

Terkait adanya pengajuan gugatan class action itu, Nirwono menyebutkan, kelompok penggugat itu sebenarnya bukan warga asli Jarak-Putat Jaya, melainkan warga pendatang. Karena usaha rumah musik ilegal mereka sering diobrak oleh aparat, akhirnya mereka mendatangi PN dan mengajukan gugatan.

“Dalan aksinya, mereka mengatasnamakan warga Dolly. Ini yang membuat kami jengkel. Padahal mereka bukan warga asli,” papar Nirwono.

Itu terlihat selama aksi yang digelar dua kelompok penggugat itu, tak satupun pengunjuk rasa yang terlihat jelas mukanya lantaran mengenakan masker. Kelompok itu tidak berani menunjukkan identitas mereka sebenarnya. Berbeda dengan aksi yang digelar pihaknya, yang berani menunjukkan kartu identitas (KTP) ke khalayak.

“Kita selamatkan generasi penerus kita. Jujur kami terganggu adanya rumah musik ilegal yang masih beroperasi. Apalagi di sana ada karaoke yang bersebelahan dengan pesantren,” papar Nirwono.

Emak-emak ingin hidup tenteram tanpa adanya rumah karaoke ilegal di kampungnya. FOTO: Fahmi Aziz.
Emak-emak ingin hidup tenteram tanpa adanya rumah karaoke ilegal di kampungnya. FOTO: Fahmi Aziz.

Salah satu pesantren yang dimaksud adalah Pondok Pesantren (Ponpes) Jauharotul Hikmah (JH) yang berlokasi di Jalan Putat Jaya Timur Gang IV B, Surabaya, yang berada di pemukiman padat penduduk.

Ketua TPQ JH Muhammad Rofiuddin ketika dikonfirmasi Jatimnet.com, membenarkan bahwa di lingkungannya ada beberapa rumah karaoke. Bahkan rumah di sebelah tempat mengaji santrinya disewakan untuk usaha itu rumah karaoke.

“Banyak warga dan wali santri mengaku terganggu dengan rumah musik liar itu. Karena namanya karaoke, tidak terpisah dari yang namanya miras (minuman keras) dan wanita pemandu musik. Pemandangan inilah yang membuat wali santri resah,” tutur Rofiuddin.

Selain itu, lanjut dia, pernah juga suatu ketika, ia ingin memasang kanopi di depan pesantrennya. Itu sengaja dipasang untuk kegiatan-kegiatan santrinya. Namun, ada segolongan orang yang mengaku warga menolak rencananya. “Mereka ini tidak lain pengelola rumah karaoke di sebelah,” paparnya.

Menurut dia, konflik antara warga asli dengan pelaku usaha rumah karaoke pasca penutupan Dolly tidak hanya terjadi sekali ini. Ia menceritakan pasa tahun 2015, terjadi perseteruan antara pelaku usaha karaoke dengan warga asli. Penyebabnya, diduga salah seorang pemilik usaha itu menganiyaya seorang warga.

Rencananya Forkaji akan kembali mendatangi PN pada Senin, 3 September 2018 mendatang. Mereka akan mengawal pembacaan putusan hakim atas diterimanya gugatan class action itu atau tidak.