Selasa, 22 January 2019 01:58 UTC
Ilustrasi gula. Foto: pixabay
JATIMNET.COM, Jakarta – Pengusaha makanan dan minuman kelas kecil dan menengah masih membutuhkan gula impor untuk keberlangsugan usaha mereka. Salah satunya adalah kualitas gula lokal yang masih mengandung molasis (sampah mikro, bakteri dan kuman, yang masih menempel di gula) membuat makanan cepat kedaluwarsa.
Ketua Asosiasi Industri Kecil dan Menengah Agro Suyono mengatakan, gula rafinasi tidak mengandung molasis sehingga makanan tidak cepat kedaluwarsa.
“Jika menggunakan gula lokal, saat makanan diekspor, misalnya dodol ke Timur Tengah, akan berjamur dan kedaluwarsa karena adanya bakteri tersebut,” kata Agro Suyono yang juga pengusaha dodol.
Ia menjelaskan, perjalanan ke Abu Dhabi bisa mencapai 20 hari. Kondisi panas dalam kontainer membuat bakteri yang membusukkan makanan tersebut lebih cepat berkembang.
BACA JUGA: Jatim Sumbang 52,34 Persen Produksi Gula Nasional
Selanjutnya, kata Agro, yang membuat pengusaha makanan menggunakan gula impor karena gula rafinasi selalu tersedia sepanjag tahun, mulai Januari hingga Desember. Sementara gula lokal harus menunggu musim panen.
Selain itu, pengusaha juga mengeluhkan masalah harga. Suyono menyebutkan, harga gula lokal bisa lebih mahal hingga Rp2.000 per kilogramnya dibandingkan gula rafinasi.
Pilihan ini menurut Agro tidak serta-merta menunjukkan para pengusaha anti produk dalam negeri. Menurutnya, pengusaha siap membeli gula dalam negeri jika kualitasnya mampu memenuhi yang dibutuhkan.
“Kami siap beli gula dalam negeri, nasionalisme saya tidak perlu dipertanyakan lagi. Saya ini anak petani asli Ciamis, saya juga ingin petani tebu Indonesia sejahtera,” katanya tegas.
BACA JUGA: Tahun Politik Picu Kenaikan Kebutuhan Gula Kristal Rafinasi
Sementara itu, peneliti muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman mengungkapkan, untuk menekan tingginya angka impor gula bukan pekerjaan yang mudah. Sebab, konsumsi dalam negeri sangat tinggi.
Pemangkasan impor gula hanya dapat dilakukan apabila produksi gula dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan nasional dengan kualitas baik.
Ia berpendapat jika produksi gula dalam negeri mampu memenuhi atau setidaknya mendekati angka kebutuhan, kebijakan impor gula dipastikan dapat ditekan.
Namun untuk saat ini, jika impor gula terus ditekan, imbasnya membuat harga gula di pasaran melambung.
"Pada akhirnya, konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian," katanya.
BACA JUGA: Harga Gula Merah Kelapa Naik Dua Kali Lipat
Terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengamini beberapa industri yang membutuhkan impor gula sebagai bahan baku untuk produksinya.
Ia menyontohkan, industri makanan dan minuman yang memerlukan gula dengan International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) rendah-(Standarisasi mutu untuk produk gula. Semakin rendah angka ICUMSA maka menunjukkan tingkat kemurnian gula semakin tinggi) -dan industri kesehatan yang membutuhkan gula khusus.
Khusus untuk industri tersebut, ia mengakui, keperluan memakai gula impor lebih dikarenakan harganya yang lebih terjangkau. Di samping itu, gula impor yang memiliki tingkat ICUMSA di kisaran 45 membuat tampilan makanan dan minuman jauh lebih baik.
“Kalau ICUMSA gula rafinasi impor itu sekitar 45. Kalau gula lokal setelah diolah itu masih sekitar 300 ICUMSA. Raw sugar malah ICUMSA-nya bisa sampai 1.200,” ujarnya.
Hanya saja bukan berarti gula lokal tidak mampu menghasilkan makanan maupun minuman yang kualitasnya setara dengan produk yang memakai gula impor.
Penggunaan gula impor tetap kepada pertimbangan harga dan tingkat ICUMSA yang lebih rendah. Karena pernah dulu waktu tahun 2009, ketika harga gula dunia sedang naik, industri makanan dan minuman akhirnya memakai gula lokal. “Bisa itu,” ungkap Agus. (ant)