Logo

Pernikahan Anak di Indonesia Masih Banyak

Reporter:

Selasa, 18 September 2018 11:07 UTC

Pernikahan Anak di Indonesia Masih Banyak

Poster kampanye untuk menghentikan pernikahan anak. Gambar: new-indonesia.org

JATIMNET.COM, Jakarta – Pernikahan anak terus terjadi di Indonesia. Perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu saja. Praktiknya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82 persen).

Data International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyebutkan, Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).

Dalam siaran pers yang diterima Jatimnet.com, Infid menyebut praktik pernikahan anak terakhir terjadi Agustus lalu di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Seorang anak lelaki yang baru lulus Sekolah Dasar (SD) mempersunting remaja perempuan berusia 17 tahun.

Berita itu memperpanjang daftar pernikahan anak yang terungkap ke publik. Di Provinsi Sulsel,  sepanjang Januari-Agustus tahun ini sudah ada 720 kasus pernikahan anak, demikian data dari Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) provinsi tersebut.

Sulsel memang termasuk salah satu provinsi yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia seperti disebut dalam laporan “Perkawinan Usia Anak di Indonesia”.

Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani menyatakan, tren perkawinan anak semakin menguat dengan semakin terbukanya praktik perkawinan anak di masyarakat. “Upaya masyarakat mempertahankan perkawinan anak ketika negara menolak untuk memberikan legitimasi juga mempertinggi tren tersebut,” ujar Indry.

Zumrotin K. Susilo, Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menyebutkan untuk membangun bangsa yang sejahtera, berkualitas, dan bebas diskriminasi gender sebagaimana maksud dari Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan maka pernikahan anak di Indonesia harus diakhiri.

Pernikahan anak, kata Zumrotin berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. “Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi,” kata Zumrotin. Di samping itu pernikahan anak membuat kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga rentan terjadi sekaligus merenggut hak anak, merujuk Undang-undang tentang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002.

Lebih lanjut menurut Zumrotin penghentian  pernikahan anak akan memberi kontribusi pada pencapaian SDGs Tujuan 1, 2, 3, 4 dan 5. Penghapusan pernikahan anak merupakan salah satu indikator SDGs seharusnya tidak sulit dicapai. Penghapusan pernikahan anak harus menjadi komitmen berbagai kementerian antara lain Kemenkes, Kemen PPPA, Kemendiknas, BKKOS Kemensos dan Kementerian Agama. “Selama ini pernikahan anak hanya dianggap urusan Kementerian Agama,” ujarnya.

Siti Khoirun Ni’mah, Program Manager INFID menambahkan pelaksanaan SDGs sudah memasuki tahun ketiga. Masalah perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs. Untuk itu, penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. “Sehingga hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama,” ujar Ni’mah.