Logo

Sri Mulyani : Pembahasan Utang Semakin Populer

Reporter:

Jumat, 26 October 2018 22:40 UTC

Sri Mulyani : Pembahasan Utang Semakin Populer

Sri Mulyani. Ilustrator : Gilas Audi.

JATIMNET.COM, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pembahasan mengenai utang pemerintah pusat semakin populer di berbagai kalangan masyarakat dibandingkan 10 tahun lalu.

"Sensitivitas terhadap utang 10 tahun lalu berbeda dengan situasi sekarang, karena ada media sosial mungkin," kata Sri Mulyani, seperti dikutip Antara ketika memberikan kuliah umum di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Jumat, 26 Oktober 2018.

Baca Juga : Sri Mulyani Soroti Dampak Peningkatan UMP 2019

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan bahwa penetrasi mengenai utang juga sudah meluas di berbagai kalangan, bahkan hingga ke masyarakat yang tinggal di perdesaan.

Sri Mulyani bercerita bahwa ketika dirinya mengikuti kegiatan Kemenkeu Mengajar di SD Negeri Kenari 07 Jakarta Pusat, beberapa siswa bahkan mengetahui soal utang.

Ia juga memahami bahwa utang pemerintah menjadi salah satu topik bahasan yang mengemuka dalam debat politik.

Debat politik mengenai utang, kata Sri Mulyani, tidak bisa dianggap enteng. "Saya tidak mau underestimate," ujar dia.

Menurut catatan Kemenkeu, posisi total utang pemerintah pusat hingga akhir September 2018 mencapai Rp4.416,37 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp816,73 triliun, pinjaman dalam negeri Rp6,38 triliun, surat berharga negara (SBN) berdenominasi rupiah Rp2.537,16 triliun dan SBN berdenominasi valas Rp1.056,10 triliun.

Baca Juga : Sri Mulyani : Fasilitas Perpajakan Dorong Perekonomian

Hingga akhir September 2018, realisasi pembiayaan utang telah mencapai Rp304,94 triliun dari Rp399,22 triliun yang ditetapkan pada APBN 2018, atau telah mencapai sebesar 76,38 persen APBN.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, realisasi pembiayaan utang mengalami pertumbuhan negatif 21,62 persen.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).