Dyah Ayu Pitaloka

Selasa, 20 November 2018 - 08:33

KHAIRA cekatan melompat ke punggung kakaknya, Ramza. Penantiannya menunggu sang kakak pulang sekolah di gapura Kampung Maspati Gang VI usai. Mereka berlarian dan riang bercanda di sepanjang jalan di kampung lawas itu, Selasa 14 November 2018 petang.

Di ujung gang tiga bocah bermain mobil-mobilan. Zaki, Angga, dan Amel. Mereka meriung beralas tikar di badan jalan ditemani orang tua dan neneknya. Riuh kampung kian terasa ketika sejumlah bocah hilir mudik mengayuh sepeda. Tak satu pun sepeda motor melaju, kalau pun ada pengendara harus mematikan mesin dan menuntun kendaraannya.

Kampung Maspati di Bubutan Surabaya menyimpan sejarah penjang sejak masa keraton Mataram. Sejumlah gedung tua di sana menjadi jejaknya. Ada bekas kediaman Raden Soemomiharjo, yang dikenal sebagai ndoro mantri oleh warga sekitar. Ada pula bekas gedung sekolah Ongko Loro dari masa penjajahan Jepang. Berjalan-jalan di kampung ini serasa menyusuri lorong waktu.

Selain kekayaan sejarah, kampung Maspati menjadi salah satu kampung di Surabaya yang mendeklarasikan diri sebagai kampung ramah anak. Warga kampung ingin kampung aman dan nyaman, tak sekadar bagi penghuni sekaligus untuk pendatangnya.

Eli, warga setempat berusia 60 tahun, berkisah tentang kampungnya. Saban hari, anak-anak bebas bermain di jalanan berpenghuni 200 kepala keluarga itu. “Sering ada lomba di sini, apalagi kalau ada tamu datang,” kata perempuan pedagang makanan dan minuman itu.

Tak jauh dari lapak Eli, ada gambar engklek dan ular tangga terlukis di permukaan jalan. Menurut Eli, anak-anak kerap memanfaatkannya untuk bermain tanpa harus takut terlanggar kendaraan. “Anak-anak ya main engklek, ular tangga, dakon, dan kelompen raksasa,” katanya.

Anak-anak bermain di gang kampung Maspati Surabaya, Selasa 13 November 2018. Kampung itu menerapkan aturan prinsip ramah anak. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.

Ketua RT Cilik Penjaga Kampung

Usianya masih 7 tahun tapi kewajibannya cukup berat. Bocah sebayanya sedang melempar batu ke saluran air dan perang-perangan ketika azan Isya baru saja berkumandang dari masjid kampung. Elaine Selyna Hartono datang menghampiri, mengingatkan mereka agar kembali ke rumah.

“Ayo pulang. Sudah malam. Anak-anak gak boleh berkeliaran jam segini. Ini jam kalian belajar di rumah,” katanya pada kawan sebaya.

Ada yang membubarkan diri dan pulang, ada pula yang cuek meneruskan permainan. “Sudah dinasehati tapi tetap bandel nanti kan kalau sudah puas main pasti pulang sendiri,” katanya pada Jatimnet.com.

Elaine adalah satu dari lima anak di Kampung Maspati yang ditunjuk Ketua RW VI sebagai RT cilik. Mereka mengantongi surat keputusan dari Lurah Bubutan dan Pengurus RW setempat. Tugas utamanya membantu kawan sebaya belajar kelompok, mengawasi, dan mencegah anak-anak melakukan perbuatan tidak baik –semisal tidak merusak lingkungan-, serta mengingatkan waktu belajar.

Jam 19.00 adalah waktu belajar bagi anak-anak kampung Maspati. “Anak-anak nggak boleh berkeliaran jam segitu,” kata murid SDK Santo Xaverius Surabaya itu.

Watak pemberaninya tak hanya tampak di kampung, di sekolah ia juga memiliki sikap tegas. Pernah suatu kali, ada kawan sekelas pilih-pilih teman untuk masuk dalam tim sekolah. Anak yang masuk tim malah jadi sasaran perisakan. Ada yang dijadikan “tukang bawa tas”, diminta menemani main, kalau tak suka akan dimarah.

Elaine tak suka cara itu. Ia datang mengingatkan dan memprotes perlakukan tak baik kawannya. “Nggak apa-apa gak masuk di dalam tim. Kalau mereka nakal aku mengeluhnya ke Pak guru dan Bu guru,” katanya.

Ayah Elaine, Hartono, menilai sikap pemberani itu melindungi putri semata wayangnya dari perisakan. “Sekarang kan banyak anak-anak yang suka mem-bully. Tapi anak saya ini memang pemberani dari kecil. Itu bisa menghindarkan dia dari bullying,” katanya.

Ia bersyukur tinggal di kampung Maspati. Tiap warga memiliki kepedulian tinggi untuk menjaga lingkungan dan sekitar tempat tinggalnya. Kepedulian semacam itu, lanjut dia, mencegah anak dari pengaruh buruk dan menghindarkannya dari tindak kejahatan.

Ketua RW VI Sabar Soeastono mengatakan kepedulian itu diajarkan melalui tradisi saling menyapa sesama warga kampung dan pada pengunjung yang datang. Hal itu menjadi contoh sopan santun pada anak-anak.

Para pengunjung yang datang ke kampung pun diingatkan agar selalu memelihara kesopanan. Dalam berkendara misalnya. Jika tak patuh, bisa-bisa diteriaki orang sekampung. “Warga sepakat mempertahankan budaya agar lingkungan aman untuk anak anak dan penghuninya,” katanya.

Ia mengatakan penunjukan Ketua RT Cilik sebenarnya bertujuan mendidik anak punya kepedulian dan tanggung jawab sejak usia dini. Program itu diluncurkan pertama kali pada Februari 2018. Selain bertugas mengawasi kawan sebaya, mereka juga menjadi pemandu (guide) ketika ada tamu tertentu yang datang mengunjungi kampung.

Pada para pengunjung, anak-anak itu bisa menjelaskan riwayat kampung mereka. “Anak-anak juga dibiasakan bertanggungjawab dan mengenal lingkungan tempat tinggalnya sejak dini,” katanya.

Satu hal lagi yang mungkin jarang kita temui di kampung lain. Sepanjang petang itu tak terlihat anak-anak bermain gawai. Ternyata memang ada imbauan khusus dari RT dan RW agar orang tua membatasi anaknya bermain gawai. Bagi mereka, sejumlah kasus kejahatan anak sumbernya dari sana.

Anak-anak bermain di gang kampung Maspati Surabaya, Selasa 13 November 2018. Kampung itu menerapkan aturan prinsip ramah anak. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.

Ada Gawai, Lupa Buku

Meski kecanggihan teknologi membawa kemudahan hidup, era digital menyisahkan sejumlah persoalan. Minat baca anak turun. Berselancar di jagad maya, jejaring pertemanan media sosial, game, dan video menjadi lebih menarik ketimbang mendaras buku.

Penulis buku anak Serial Petualangan Mata, Okky Madasari punya tips untuk menumbuhkan minat baca anak. Menurut dia, orang tua harus memberi contoh baik dan budaya membaca. “Yang paling utama, berikan bacaan yang menarik untuk anak agar mereka terpikat dan jatuh cinta pada kegiatan membaca,” katanya.

Ibu dari seorang putri berusia 4 tahun ini telah menulis serial petualangan Mata. Dan kini telah mencapai buku keenam, Mata di Tanah Melus.

Mulanya, buku itu terlahir dari kegelisahan terhadap terbatasnya buku anak berkualitas di pasaran. Sejak dua tahun silam, ia mulai menulis buku untuk anaknya. Sebuah buku anak berkualitas, menurut dia, adalah buku yang kaya imajinasi dan mampu membenamkan kesadaran tentang persoalan dalam masyarakat, realitas sosial, serta keberagaman hingga ekologi.

Kesadaran membaca itu penting dipasokkan sejak usia dini. Karena usia anak adalah usia emas pembentukan karakter manusia.

Baca Juga

loading...