Persekusi Mahasiswa Papua di Surabaya Dinilai Sebagai Kekerasan Rasial

Komnas HAM didesak melakukan investigasi.
Bayu Pratama

Reporter

Bayu Pratama

Minggu, 18 Agustus 2019 - 08:23

persekusi-mahasiswa-papua-di-surabaya-dinilai-sebagai-kekerasan-rasial

DUGAAN PERSEKUSI. Polisi dan massa di depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya, Sabtu 17 Agustus 2019. Aksi itu dinilai sebagai bentuk main hakim sendiri. Foto: Khaesar Gle.

JATIMNET.COM, Surabaya – Lembaga Bantuan Hukum Papua menilai aksi kekerasan pada mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2019 sebagai bentuk kekerasan rasial oleh aparat negara dan masyarakat.

“Watak kebinatangan tersebut harus dimatikan dengan cara melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku tindakan main hakim sendiri,” kata Direktur LBH Papua Emanuel Gobay melalui pernyataan tertulis yang diterima Jatimnet.com, Minggu 18 Agustus 2019.

Selama tiga hari berturut-turut, menurut dia, kekerasan terhadap mahasiswa Papua terjadi di Jawa Timur. Setelah kekerasan di Malang pada 15 Agustus lalu di Surabaya pada 16-17 Agustus.

Di Surabaya, ratusan massa ormas mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan setelah terpicu foto bendera merah putih di selokan yang menyebar di media sosial. Meski tak ada keterangan pasti siapa pelaku pembuangan, massa menggeruduk asrama.

BACA JUGA: Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Digeruduk Warga dan Ormas

Peristiwa itu, menurut Edo-begitu Gobay biasa disapa-, bentuk tindakan main hakim sendiri. Padahal, Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 telah mengatur, agar melapor ke polisi jika diduga terjadi perusakan lambang negara. “Indonesia negara hukum, maka negara wajib melindungi warganya termasuk mahasiswa Papua,” katanya.

Menyusul peristiwa itu, LBH Papua mendesak pemerintah Papua dan Papua Barat membentuk tim khusus antirasisme. Tim ini diusulkan bertugas mengidentifikasi kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap warga Papua, khususnya di Surabaya dan Malang; mengusut pelaku dan bentuk pelanggarannya; serta mendesak Komnas HAM untuk menginvestigasinya. “Pada Panglima TNI dan Kapolri juga harus memproses anggotanya yang terlibat,” katanya.

Sementara itu, berdasarkan kronologis peristiwa yang disusun LBH Surabaya, termaktub peristiwa kekerasan di Surabaya bermula dari kedatangan rombongan polisi, tentara, Satpol PP, dan ormas ke asrama mahasiswa sekitar pukul 15.20 WIB. Berikutnya, seorang oknum tentara menggedor pintu asrama dan meneriaki mahasiswa dengan kata kotor.

BACA JUGA: Kontras Surabaya: Perusakan Bendera Bukan dari Mahasiswa Papua

“Kemudian datang puluhan anggota Ormas melempari asrama dengan batu. Massa juga menyanyikan yel-yel usir mahasiswa Papua,” kata Sahura, pengacara publik LBH Surabaya.

Kehadiran mereka di asrama berlangsung sampai tengah malam. Akibanya, mahasiswa tak leluasa beraktivitas, walau sekadar beli makan di warung. Malah sekitar 02.00 WIB pada Sabtu, 17 Agustus 2019, dua orang mahasiswa yang mengantar makanan ke dalam asrama ditangkap polisi dan dibawa ke Mapolrestabes Surabaya.

Puncaknya pada Jumat siang, polisi menembakkan gas air mata ke arah asrama dan menangkap mahasiswa. Sejam berikutnya, 43 mahasiswa digelandang ke Mapolrestabes Surabaya dan dipulangkan pada 23.30 WIB.

BACA JUGA: Polisi Belum Beber Hasil Pemeriksaan 43 Mahasiswa Papua

Sahura mengecam tindakan aparat karena membiarkan upaya persekusi ormas pada mahasiswa. Semestinya, polisi menindak tegas pelaku main hakim sendiri. Persekusi, dengan dalih penegakan hukum atas dugaan perusakan dan pembuangan sekalipun, tak dibenarkan secara hukum. “Ini pelanggaran atas prinsip-prinsip negara hukum dan justru merendahkan kewibawaan aparat kepolisian selaku penegak hukum,” katanya.

Keterlibatan tentara di lokasi, ia melanjutkan, juga menyisakan pertanyaan. Kalau pun beralasan menegakkan hukum, ini adalah tindakan yang melampaui kewenangan. Militer bukan bagian dari penegak hukum. “Apakah aparat kepolisian tidak mampu mengamankan massa yang jumlah tidak lebih atau bahkan tidak sampai 100 orang,” katanya.

Karenanya, LBH Surabaya pun mendesak Komnas HAM menginvestigasi dugaan pelanggaran yang dilakukan oknum polisi dan tentara ini.

Baca Juga