Rabu, 26 January 2022 13:00 UTC
KUASA HUKUM. Kuasa hukum korban penganiayaan santri Ponpes Amanatul Ummah, Ahmad Umar Buwang, saat diwawancarai di Lamongan, Rabu, 26 Januari 2022. Foto: Zuditya Saputra
JATIMNET.COM, Lamongan – Polres Mojokerto telah menetapkan lima santri Ponpes Amanatul Ummah, Desa Kembangbelor, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, sebagai tersangka penganiayaan yang menewaskan sesama santri setempat, Galang Takkaryaka Raisaldi, 14 tahun, siswa kelas X MA Unggulan Amanatul Ummah, asal Kabupaten Lamongan.
Penyidik Polres Mojokerto juga sudah melimpahkan kelima tersangka beserta barang bukti ke Kejaksaan Negeri Mojokerto. Namun kelimanya tak ditahan dengan pertimbangan masih di bawah umur atau di bawah 18 tahun.
Meski penyidik telah menetapkan lima tersangka, keluarga korban melalui kuasa hukumnya berharap polisi bertindak adil dan menuntut pihak Ponpes Amanatul Ummah ikut bertanggung jawab karena kelalaian dalam mengawasi keamanan santri.
Keluarga berharap kepolisian tak pandang bulu dalam menindak perbuatan pidana yang terjadi di dalam ponpes yang diasuh Ketua Umum Pergunu KH Asep Syaifuddin Chalim dan putranya yang juga Wakil Bupati Mojokerto dan Ketua Yayasan Ponpes Amanatul Ummah, Muhammad Albarraa.
Baca Juga: Lima Santri Amanatul Ummah Tersangka Penganiayaan Diserahkan ke Kejari
Selain itu, keluarga juga kecewa karena pengasuh, pengurus yayasan, maupun pembina asrama yang bertanggung jawab pada keamanan santri semula tak berterus terang atas penyebab kematian korban.
“Setelah meninggalnya korban, mulai hari pertama, kedua, ketiga, hingga keenam, pihak pondok pesantren tidak menjelaskan bahwa si anak ini dianiaya. Tetapi, mereka hanya menjelaskan korban ini ada serangan epilepsi sehingga korban meninggal dunia,” kata kuasa hukum keluarga korban, Ahmad Umar Buwang, Rabu, 26 Januari 2022.
Pihak ponpes baru mengakui bahwa memang telah terjadi penganiayaan terhadap korban setelah didesak oleh orang tua korban pada hari ketujuh setelah meninggalnya korban.
“Berdasarkan bukti-bukti luka anak dan kebetulan orang tua korban juga orang medis, ia juga paham bahwa anaknya tidak memiliki riwayat epilepsi. Namun, di saat memandikan jenazah korban, dia menemukan ada luka memar di bagian dada atau tangan,” katanya.
Baca Juga: PPKM Darurat, Ribuan Santri Amanatul Ummah Mojokerto Datang Bergelombang
Sehingga, pada saat pihak ponpes melakukan takziah, orang tua korban bersikukuh bahwa anaknya meninggal bukan karena serangan epilepsi, melainkan diduga telah dianiaya. Setelah itu pada hari ketujuh, pengurus ponpes yang lain juga mendatangi rumah korban dan mengatakan bahwa memang benar telah terjadi penganiayaan pada korban.
“Dari situlah pihak keluarga menyayangkan bahwa tidak ada kejujuran kepada orang tua korban, itu yang menjadi sakit hati mendalam bagi orang tua korban,” ujar advokat yang akrab disapa Buwang ini.

SANTRI. Keluarga santri baru siswa MTs Unggulan Amanatul Ummah mengantar barang bawaan untuk diserahkan pada pengurus ponpes Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, Minggu, 4 Juli 2021. Foto: Ishomuddin
Buwang juga membenarkan bila penganiayaan tersebut dilakukan dengan cara dikeroyok secara bergantian di dalam kompleks asrama pondok dan menurut penyidik ada lima orang pelaku. Selain itu, Buwang juga membenarkan bila korban sempat diisukan meninggal karena epilepsi dan itu diisukan sejak hari pertama hingga keenam setelah meninggalnya korban.
Terkait informasi korban dianiaya karena dituduh mencuri, menurut Buwang, hal itu tidak masuk akal. Sebab, setiap diberikan uang saku oleh orang tuanya, korban selalu merasa cukup dan malah sering uangnya dimintai oleh teman sesama santri.
“Sebelum meninggal, korban sering bercerita kepada orang tuanya yakni ibunya, bahwa uang korban sering diminta temannya. Bahkan, korban sempat bilang minta izin kepada ibunya untuk berlatih silat untuk menjaga diri,” tuturnya.
Menurut Buwang, pihak keluarga juga berharap polisi adil dalam menindak semua pihak yang bertanggung jawab atas perbuatan pidana dalam lembaga pendidikan ini termasuk pengasuh maupun pengurus ponpes karena lalai dalam menjaga keamanan santri.
Baca Juga: Anak Terpilih jadi Pejabat, Pendiri Ponpes Amanatul Ummah Tolak Campur Tangan Pemerintah
“Keluarga menyayangkan dari proses hukum ini kenapa dari pihak pondok, entah pengawas atau pengasuh pondok atau yang memiliki kapasitas di situ tidak ada yang dijadikan tersangka,” katanya.
Menurut Buwang, setelah terjadi penganiayaan pada malam hari, korban besoknya harus melakukan ujian. Namun, korban tidak bisa ikut ujian karena sakit. Saat itu, pembina atau pengurus asrama tidak langsung mengeceknya dan bahkan tidak mengetahui bahwa korban sedang sakit. “Setelah ujian barulah korban ini dicari dan ditemukan di kamarnya dengan keadaan dipastikan sudah meninggal,” katanya.
Korban dikeroyok pada malam hari tanggal 12 Oktober 2021 dan ditemukan di kamarnya pada 13 Oktober 2021. Korban sempat dibawa ke RSUD Sumber Glagah, Pacet, namun dinyatakan sudah meninggal dunia.
Menurut Buwang, sebagai tenaga medis, ayah korban tahu jika anaknya sudah meninggal sebelum dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Hal ini diketahui saat ia memandikan jenazah anaknya dan kedua tangannya sudah kaku.
Karena ada yang janggal pada jenazah korban, pihak keluarga akhirnya melaporkan dugaan penganiayaan ke Polres Mojokerto dan polisi memboongkar makam korban di Lamongan setelah tujuh hari kematiannya pada 21 Oktober 2021 untuk diautopsi. Dari hasil autopsi diketahui bahwa korban mengalami luka akibat penganiayaan.
Pihak keluarga juga berharap kepolisian transparan dan menjelaskan kejadian sebenarnya secara lengkap ke pihak keluarga berdasarkan hasil olah TKP dan barang bukti yang sudah diamankan. Sebab menurut Buwang, keterangan polisi pada keluarga tidak detail tentang penyebab dan kronologi kejadian penganiayaan dengan alasan para pelaku masih di bawah umur.
Kematian santri diduga akibat kelalaian pihak ponpes setempat sudah terjadi setidaknya dua kali. Sebelumnya, pada 15 Agustus 2014, salah satu asrama di ponpes setempat terbakar dan menyebabkan satu santri meninggal dunia.
Setelah diselidiki polisi, ponpes dengan jumlah santri ribuan itu belum memiliki sarana alat pemadam kebakaran dan jalur evakuasi yang memadai serta tidak adanya hidrant sumber air untuk pemadam kebakaran. Polres Mojokerto sempat melakukan penyelidikan namun kelanjutannya tidak diketahui dan hasilnya tidak dijelaskan ke publik.