
Reporter
Faizin AdiKamis, 19 November 2020 - 13:40
Editor
Ishomuddin
TERORISME. Seminar daring yang digelar Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unej tentang rancangan Perpres pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, Kamis, 19 November 2020. Foto: Faizin Adi
JATIMNET.COM, Jember – Rencana pemerintah yang akan memberikan porsi lebih besar kepada TNI dalam penanggulangan terorisme perlu diatur secara rinci agar tidak melanggar HAM.
Penanganan kasus salah tangkap terduga teroris seperti yang pernah dilakukan kepolisian akan menjadi lebih rumit ketika dilakukan oleh militer. Hal ini mengemuka dalam diskusi dan seminar daring (webinar) yang digelar Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej), Kamis, 19 November 2020.
“Seperti kita tahu, peradilan militer diisi oleh personel militer dengan akses publik yang terbatas. Adapun peradilan koneksitas (melibatkan penegak hukum sipil untuk kasus personel militer) untuk saat ini masih cukup sulit diterapkan. Memang ada wacana penghapusan peradilan militer, tetapi itu sepertinya masih jauh,” ujar I Gede Widhiana, pakar hukum yang juga Ketua Jurusan Pidana FH Unej yang menjadi salah satu pembicara.
BACA JUGA: HUT Kemerdekaan RI Umar Patek Dapat Remisi
Menurutnya, rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang sedang disusun pemerintah harus diatur untuk mencegah potensi permasalahan lain. Secara umum, Gede menilai akan lebih baik jika pemerintah lebih mengutamakan aspek pencegahan dalam kebijakan penanganan terorisme di Indonesia.
Ia menjelaskan saat ini di dunia terdapat tiga perspektif kebijakan negara untuk menanggulangi terorisme. Perspektif pertama dengan menempatkan terorisme sebagai perang (war on terror). Kebijakan ini seperti yang pernah diterapkan pemerintahan AS masa Presiden George W. Bush.
Perspektif kedua, menempatkan penanganan terorisme sebagai sebuah sistem peradilan pidana. Terakhir, perspektif kebijakan menyeluruh yang menempatkan terorisme sebagai akibat dari problem sosial di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan sebagainya.
“Memang belum ada riset untuk mengukur mana model yang paling efektif. Tetapi di beberapa negara maju, aspek pencegahan yang diutamakan,” tutur doktor hukum dari Queensland University of Technology (QuT) Australia ini.
Selandia Baru, menurut Gede, bisa menjadi contoh negara yang dianggap berhasil mencegah terorisme dengan mengatasi akar permasalahan sosial. Kesenjangan di Selandia Baru relatif minim.
BACA JUGA: Belum Mengakui NKRI, Napi Terorisme di Lapas Blitar Tidak Mendapat Remisi
“Kalau di negara kita, miskin seperti takdir turunan. Di sana, menjadi miskin itu seperti sebuah pilihan, karena cukup jarang,” ujar Gede setengah berkelakar.
Selama puluhan tahun, serangan terorisme di Selandia Baru terjadi pada tahun 2019 yakni teror di dua masjid yang terjadi di Christchurch tahun 2019 lalu. Pelaku tunggal serangan tersebut kini telah divonis penjara seumur hidup.
Hal senada juga dipaparkan Amira Paripurna, dosen pidana yang juga peneliti Pusat Studi HAM Universitas Airlangga (Unair). Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme, menurutnya, mengandung beberapa pasal yang bisa bertentangan dengan UU.
Seperti soal pendanaan bagi militer yang memungkinkan bisa didanai di luar anggaran negara. “Hal itu bisa bertentangan UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” tutur Amira.
Rancangan Perpres itu juga memungkinkan TNI membantu polisi menangkap terduga teroris. Meski nantinya tetap diserahkan ke polisi untuk proses hukum, penangkapan oleh militer itu dikhawatirkan bisa melanggar HAM.
BACA JUGA:
“Karena situasi di lapangan bisa berbeda. Misalkan terduga pelaku itu ditaruh sementara di bunker milik militer, tidak ada akses pendampingan pengacara seperti ketika ditangkap polisi. Ini bisa melanggar prinsip free trial (peradilan bebas) karena HAM tidak terpenuhi,” kata peraih gelar PhD dari University of Washington, Amerika Serikat ini.
Sementara itu, Mukhamat Liberty Ady Surya, kandidat doktor dalam bidang terorisme di Queensland University of Technology (QuT) menekankan pentingnya dukungan masyarakat bagi mantan napi terorisme (napiter) yang ingin bertaubat.
Dari sejumlah data, hanya empat persen mantan napiter yang kembali terlibat dalam gerakan terorisme. Mereka umumnya terjerumus kembali karena ditolak oleh masyarakat setelah bebas dari Lapas.
“Ketika napiter yang sudah meninggalkan ideologinya itu bisa diterima dengan nyaman di lingkungannya, kecil kemungkinan dia akan kembali menjadi teroris. Mereka yang kembali jadi teroris umumnya karena hanya kelompoknya saja yang mau menerima. Jadi sebaiknya masyarakat jangan takut kepada mereka,” ujar Ady yang juga perwira di Polri ini.