
Reporter
Bruriy SusantoRabu, 21 Juli 2021 - 23:40
Editor
Bruriy Susanto
Ketua DPRD Jatim Kusnadi
JATIMNET.COM, Surabaya - Pemerintah telah memutuskan memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga 25 Juli 2021, namun tersebut mendapat kritikan dan sindiran dari Jawa Timur.
Yakni, DPRD Jawa Timur meyakini, tidak akan mampu merubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik, maupun menekan secara drastis hingga mampu mengkondisikan sebaran Covid-19 di Jatim dengan baik.
"Tambahan waktu PPKM lima hari itu apa yang ingin dicapai atau bisa dicapai? Dengan kebijakan yang setengah-setengah begini, hasilnya tentu juga tak maksimal atau tak sesuai dengan harapan," kata Kusnadi ketua DPRD Jatim, Rabu 21 Juli 2021.
Politikus asal PDI Perjuangan itu menjelaskan jika masih meyakini PPKM Darurat sebagai satu-satunya cara menekan sebaran Covid-19, maka pihaknya mempersilahkan saja dilakukan atau diperpanjang. Sebaliknya, apabila tidak yakin, ya kenapa harus dilakukan karena waktu lima hari itu tak akan efektif mampu mengubah hasil secara signifikan.
Baca Juga: PPKM Darurat Diperpanjang, Berikut Sejumlah Langkah Preventif di Surabaya
"Kalau tak yakin PPKM mampu menekan sebaran Covid-19 secara signifikan, ya kenapa harus dilakukan. Ya sudah dengan segala resikonya kita harus berani menerima," ujar Kusnadi.
Ia berharap kebijakan yang dibuat pemerintah benar-benar bisa memberikan kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat. Mengingat, pandemi Covid-19 itu sudah memasuki tahun kedua, namun tak kunjung membuahkan hasil sehingga baik aparatur pemerintah maupun masyarakat sejatinya sudah capek dan berharap kondisi segera membaik.
"Apa dengan waktu 5 hari kemudian Jatim bisa mengubah 35 daerah Zona Merah menjadi Zona Orange atau kuning semua. Ya bisa-bisa saja kalau datanya dipalsukan atau ngak usah dipublikasikan atau ngak dicatat tinggal distippo saja," kelakar pria murah senyum ini.
Menurut Kusnadi, persoalan utama penanganan Covid-19 di Indonesia maupun Jatim yang tak kunjung membuahkan hasil signifikan itu lantaran masih ada dikotomi antara mendahulukan aspek kesehatan atau aspek ekonomi.
Baca Juga: Ketua DPRD Jatim Ungkap Penyebab Covid-19 Merajalela, Sarankan Vaksin Basis Keluarga
Padahal keduanya tak bisa dipisahkan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun pemerintah sudah memutuskan untuk memprioritaskan penanganan dari aspek kesehatan khususnya untuk menjaga kesehatan masyarakat
Sehingga aspek ekonomi agak dikesampingkan. Faktanya, kondisi kesehatan masyarakat dalam jangka waktu yang cukup lama juga dipengaruhi ketahanan ekonomi masyarakat.
"Kalau ketahanan ekonomi masyarakat semakin melemah akibat adanya berbagi kebijakan pembatasan sehingga masyarakat sulit mengakses ekonomi maka kesehatan masyarakat juga menjadi rentan dan mudah sakit hingga meninggal dunia bukan karena penyakit tapi akibat kelaparan," kata Kusnadi
Hal itu memunculkan letupan di masyarakat memprotes kebijakan PPKM Darurat karena tidak adanya kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. "Penanganan pandemi Covid-19 itu tak bisa hanya memprioritaskan aspek kesehatan belaka tapi harus beriringan dengan aspek ekonomi," ujarnya.
Baca Juga: PPKM Darurat, Warga Terjaring Operasi Malam Hari Langsung Diswab
Ketimpangan kebijakan penanganan Covid-19, justru akan memperparah kondisi masyarakat. Bahkan pemerintah sendiri terlihat ambigu, karena program stimulus pemulihan ekomomi sering bertabrakan dengan kebijakan aspek kesehatan sehingga tak jalan.
Dicontohkan pemerintah mendorong sektor pariwisata untuk bangkit dengan harapan bisa mendongkrak sektor UMKM. Tapi tempat-tempat wisata dilarang buka, bahkan pedagang UMKM juga dirazia dengan alasan untuk menghindari kerumunan.
"Inilah kondisi dilematis yang sedang kita hadapi bersama. Bahkan serapan anggaran pemerintah daerah termasuk Jatim masih dibawah 30 persen sehingga pembangunan yang diharapkan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi tak jalan karena pemerintah hanya fokus pada aspek kesehatan saja," beber Kusnadi.
"Bagaimana roda pemerintahan bisa berjalan efektif, lha wong OPD yang tak berkaitan dengan pelayanan publik disarankan kerja di rumah (WFH). Ini juga menimbulkan kecemburuan sosial, ASN WFH tetap menerima gaji sementara masyarakat biasa jika tak keluar rumah untuk bekerja tak dapat uang," ia memungkasi.