
Reporter
Oky Dwi PrasetyoSenin, 8 Juli 2019 - 13:55
Editor
Dyah Ayu Pitaloka
MILAD. Klenteng Eng An Kiong sedang bersiap-siap menghelat Milad ke 194 Tahun.. Foto: Oky Dwi
JATIMNET.COM, Malang – Kelenteng Eng An Kiong berada di Jalan Martadinata, Kota Lama, Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur. Tepat pada hari ini, kelenteng ini merayakan ulang tahun ke 194 tahun, 8 Juli 2019.
Juru bicara Yayasan Klenteng Eng An Kiong, Bonsu Anton Triyono menjelaskan, kelenteng dibangun pada sekitar 1.825 (2.564 tahun Imlek).
Pembangunannya didasarkan atas keinginan Letnan Kwee Sam Hway (Yauw Ting Kong).
Dia merupakan keturunan ketujuh dari seorang jenderal di masa Dinasti Ming (1368-1644) di Tiongkok. Yauw Ting Kong masuk ke Indonesia melalui Madura, kemudian mencari tempat yang lebih subur dan masuk ke Malang.
BACA JUGA: Ketika Siswa Katolik Surabaya Mengenali Islam, Budha dan Hindu
“Yauw Ting Kong itu hebat! Kebiasaan yang tidak pernah dilupakan adalah beliau selalu menjaga keharmonisan hubungan kemanusiaan,” paparnya.
Ketika musim paceklik datang, Bonsu menerangkan bahwa kelenteng juga mengadakan sembahyang dan membagikan sembako ke semua umat dan masyarakat. Tak peduli suku dan agamanya.
“Ada tiga ribu lebih paket sembako yang kami bagikan waktu itu. Isinya ada beras, mie, bihun, gula, hingga busana layak pakai,” tuturnya
Beralih ke posisi bangunan, kelenteng dibangun di tempat yang lebih tinggi dan menghadap ke daerah yang lebih rendah.
BACA JUGA: Kelenteng Hoo Tong Bio Suguhkan Kolaborasi Budaya Lokal
“Lebih tinggi dari Semeru dan lebh rendah adalah Batu. Bagaikan Tuhan menciptakan hukum alam itu sendiri,” jelas Bonsu.
Selain bangunan, kelenteng ini juga memiliki keunikan lain. Yakni, sebagai kelenteng Tri Dharma. Artinya, bangunan ini digunakan sebagai tempat ibadah bagi tiga penganut agama dan kepercayaan, yaitu Ji (Konghucu), Too (Tao), dan Sik (Buddha).
Menutup pembicaraan, Bonsu Anton Triyono menjelaskan asal usul nama kelenteng, sebagai rumah ibadah tiga kepercayaan dan agama itu.
Menurutnya, asal namanya muncul dari budaya Indonesia sendiri, terutama suku Jawa.
BACA JUGA: Kemenag Susun Soal USBN Agama Khonghucu
“Jika umat Islam ada bedug, itu kan bunyinya kalau dipukul dug, dug. Nah, kita di sini memanggil sembahyang mengunakan lonceng. Kalau dipukul bunyinya teng, teng. Makanya dinamakan kelenteng,” pungkasnya.