Komunitas Banyuwangi Berkebun Reboisasi dengan 1.000 Bibit Sawo Kecik

Ahmad Suudi

Reporter

Ahmad Suudi

Sabtu, 30 November 2019 - 23:49

komunitas-banyuwangi-berkebun-reboisasi-dengan-1-000-bibit-sawo-kecik

REBOISASI. Dosen Fakultas Pertanian UB Malang, Umi Salamah dan Bayu Hadianto menanam bibit sawo kecik di Lingkungan Papring, Kelurahan/Kecamatan Kalipuro Banyuwangi, Jumat 30 November 2019. Foto : Ahmad Suudi

JATIMNET.COM, Banyuwangi – Komunitas Banyuwangi Berkebun menyumbang 1.000 bibit sawo kecik kepada kelompok masyarakat, lembaga maupun individu sebagai upaya reboisasi lingkungan.

Pembagian dilaksanakan di Lingkungan Papring, Kelurahan/Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi yang dibarengi pembekalan pemanfaatan lahan kosong kepada warga.

Ketua Komunitas Banyuwangi Berkebun, Bayu Hadianto mengajak masyarakat Banyuwangi untuk memenuhi kebutuhan dengan berkebun. Pasalnya selain mengurangi emisi karbon dan memproduksi oksigen, kebun juga bisa memberikan keuntungan pada orang yang menanami dan merawatnya.

“Kalau menanam cabai ya tidak perlu khawatir saat harganya mahal di pasaran. Bila di perkotaan kami mendorong penanaman urban farming dengan metode hidroponik, aquaponik, vertikultur, tanam dalam pot dan lainnya,” kata Bayu, Jumat 29 November 2019.

BACA JUGA: Mahasiswa Bantu Warga Kenjeran Tanam Sayur dengan Air Laut

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Dr Umi Salamah, M.Pd yang menyampaikan pengenalan sawo kecik pada warga mengatakan bahwa tanaman itu cocok untuk reboisasi.

Selain memiliki akar dan batang yang kuat, usia sawo kecik yang bisa sampai ratusan tahun membuatnya bisa memberi manfaat dalam jangka panjang.

Juga kayunya yang kuat dan awet, bisa dijadikan sarung atau gagang keris. Bahkan bisa dijadikan souvenir lainnya. Buahnya bisa dimakan karena mengandung berbagai vitamin dan fosfor yang baik untuk kesehatan tubuh manusia.

“Kalau Belanda reboisasinya pakai pohon asem, itu juga ratusan tahun usianya, di kawasan Nusantara reboisasinya pakai sawo kecik,” kata pendiri Nusantara Culture Academy (Nica) itu.

BACA JUGA: Maksimalkan Lahan, Pemkot Surabaya Dorong Warganya Lakukan Urban Farming

Dijelaskannya pohon yang berasal dari India itu, masuk ke Indonesia sejak abad ke-18. Semua kerajaan Nusantara masa lampau menanamnya dekat istana karena buahnya disukai para permaisuri. Karena manfaat lain dari mengonsumsi sawo kecik adalah menghilangkan bau mulut yang tidak sedap.

Di depan puluhan warga Banyuwangi, Umi Salamah juga menjelaskan bahwa sistem kebudayaan bertani Indonesia saat ini berbeda dengan dahulu kala. Pertanian di Indonesia zaman dulu dominan sosio-budaya atau bergotong royong hingga tidak membutuhkan modal yang tinggi.

Kemudian pada zaman penjajahan Belanda hingga masa Orde Baru bergeser ke modal ekonomi atau kapitalis, di mana alat produksi dan hal-hal berkaitan dengan permodalan sangat dipentingkan. Dengan itu juga petani jadi mengandalkan teknologi peralatan hingga tak lagi peduli pada budaya bertani.

“Jadi ini pertanian secara gotong-royong, dulu yang namanya bertani tidak perlu modal kapital yang sangat banyak seperti sekarang. Adanya perkebunan yang sangat luas adalah gejala berlakunya modal ekonomi,” kata Umi Salamah.

Baca Juga