Reporter
Khoirotul LathifiyahJumat, 20 September 2019 - 07:45
JATIMNET.COM, Surabaya – Gatot tak habis pikir, bagaimana mungkin penghuni asrama yang selama ini ia kenal ramah malah dituding biang onar. “Wong kalau habis pulang dari Papua, saya sering dibawakan oleh-oleh,” kata lelaki pedagang kopi di Jalan Pacar Keling Surabaya itu, Senin 19 Agustus 2019 siang.
Warung kopinya terletak sekitar 200 meter dari Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III di Jalan Kalasan. Gatot lupa kapan terakhir kali menerima buah tangan mereka, tapi yang jelas, “Waktu itu dibawakan ikan asin.”
Tiga hari sebelum Jatimnet.com menjumpai Gatot di warkopnya, pada Jumat 16 Agustus 2019, seratusan orang-sebagian besar massa ormas-,mengepung asrama, mempersekusi penghuni, dan melontarkan ucapan rasial pada mahasiswa Papua.
Persekusi massa yang berlangsung selama dua hari itu, hingga Sabtu 17 Agustus 2019, segera memicu kemarahan warga di Papua. Senin 19 Agustus 2019 pagi, ribuan warga Manokwari, Papua Barat turun ke jalan memprotes aksi rasial di Surabaya.
BACA JUGA: Lenis Kogoya Bangga Ada Orang Papua Jadi Pejabat di Surabaya
Gatot tak paham betul bagaimana konflik meletus dan meluas jadi kerusuhan di Papua. Tapi, bertahun-tahun bergaul dengan penghuni asrama, ia paham betul mahasiswa-mahasiswa itu orang baik.
Mereka pun berinteraksi dengan penduduk kampung sekitar asrama laiknya warga kebanyakan. Misalnya saling bertegur sapa saat berjumpa. Menurut dia, baik dan buruk seseorang bukan dipengaruhi ras dan suku. “Kalau kita berbuat baik, mereka pun pasti berbuat baik sama kita,” katanya.
Seorang perempuan pemilik warung kelontong tak jauh dari Warkop Gatot, Bu Sugik-begitu ia biasa disapa-, membenarkan keterangan itu. Sejumlah mahasiswa kerap berbelanja makanan dan minuman ringan, serta rokok di warungnya, di Jalan Pacar Keling Gang 1.
Menurut dia, mahasiswa penghuni asrama tak pernah membuat gaduh, apalagi menggangu warga sekitar. “Mereka sopan, kalau ketemu disapa mereka balas menyapa dan tersenyum,” kata dia.
WARKOP. Suasana toko kelontong dan warung kopi di Jalan Pacar Keling Surabaya yang sering disinggahi penghuni Asrama Mahasiswa Papua, 19 Agustus 2019. Foto: Khoirotul Lathifiyah
Tak kenal maka tak sayang
Untuk pertama kalinya pada 16 tahun lalu, Carolin Rista Rumanjo menginjakkan kaki di Kota Pahlawan. Usianya terbilang masih belia ketika diterima kuliah di Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
“Bingung juga cari kos-kosan,” kata perempuan yang kini berusia 33 tahun itu mengenangkan pengalaman jadi mahasiswa baru.
Olin, begitu Carolin biasa disapa, kini adalah pengajar di almamaternya. Selain jadi dosen, perempuan asal Jayapura, Papua itu juga dipercaya menduduki jabatan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Untag Surabaya.
Jatimnet.com menjumpainya di ruang kerja pada Selasa, 17 September 2019 sore. Berbaju batik warna merah, ia tampak sibuk memeriksa lembaran laporan bulanan kegiatan sivitas akademik di mejanya.
BACA JUGA: Diplomasi Papeda ala Khofifah Meredam Gejolak Papua
“Silakan masuk, maaf ruangan saya berantakan. Duduk dulu, apa yang bisa saya bantu,” katanya menyambut kedatangan Jatimnet.com.
Bagi kebanyakan mahasiswa baru, mendapat tempat indekos yang tepat memang gampang-gampang susah. Apalagi kalau tak punya sanak keluarga, atau setidaknya kenalan.
Persoalan berburu tempat tinggal itu kian susah bagi mahasiswa Papua. Sejumlah pemilik kos enggan menerima orang Papua di tempatnya. Olin mengatakan pernah merasakan itu, ditolak pemilik rumah.
“(Apalagi) dulu masih terang-terangan tertulis di pagar (rumah). Tidak menerima mahasiswa luar pulau. Nonmuslim,” katanya, berbagi kisah.
Carolin Rista Rumanjo. Foto: Khoirotul Lathifiyah
Meski fisiknya berbeda dengan penduduk asli Papua, yang berkulit hitam dan berambut keriting, bagi Olin, Papua adalah kampung halamannya. Lagi pula, kedua orang tuanya sudah berdiam di Sorong sejak remaja.
Beberapa kali ditolak ngekos, lanjut dia berkisah, akhirnya dapat tempat kos juga. Seorang kawan sesama mahasiswa Papua merekomendasikan ngekos di kawasan Nginden. Pemiliknya ramah dan tak membeda-bedakan suku dan ras anak kos.
Di tempat kos ini, tinggal mahasiswa dari beragam latar belakang suku dan daerah, juga agama. Ada dari Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sunda, dan Papua. Meski berbahasa ibu berbeda-beda, mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia saat berbicara sesama penghuni kos.
BACA JUGA: Mahasiswa Papua di Surabaya Dikenal Ramah oleh Warga Sekitar Asrama
Alih-alih berkonflik karena perbedaan, mereka malah saling mempelajari beragam budaya dari penghuni kos yang berbeda daerah asal. Tenggang rasa terjalin, mereka pun bisa saling menghargai dan hidup rukun.
Olin mengingat, itu terejawantah dalam kehidupan sehari-hari. Dari berbagi kanal saat nonton televisi, titip makanan saat keluar kos, sampai tolong-menolong ihwal sepele.
Pernah suatu kali, ia melanjutkan, para penghuni kos jalan-jalan bersama. Saat menumpang Bemo, ia dan kawannya sesama mahasiswa Papua, dirasani dua penumpang lain dengan bahasa Jawa. Lantaran tak paham artinya, Olin diam saja.
Meski orang yang dibicarakan diam, kawan-kawan sekosnya yang asal Jawa membelanya. Mereka “memberi pelajaran” pada penumpang rasis itu. “Dua penumpang itu akhirnya turun,” katanya.
BACA JUGA: Aktivis Minta Jaminan Agar Diskriminasi Rasial Tak Terulang di Indonesia
Olin mengatakan, watak rasis bisa terkikis ketika orang membuka diri untuk belajar budaya berbeda. Perbedaan budaya di Indonesia semestinya tak jadi penghalang untuk saling mengenal. Sebaliknya, perbedaan itu mesti dipahami sebagai keragaman dan kekayaan.
Menurut dia, dengan cara itulah orang bisa saling menghargai dan mengembangkan toleransi. “Sekarang saya sudah bisa membuktikan,” katanya.
Bertahun-tahun tinggal di Surabaya, ia kini tahu budaya Jawa yang relatif kalem. Orang bicara pelan dan cenderung sungkan. Sementara bicara keras dianggap kurang sopan, orang Papua cenderung bicara blak-blakan dan dengan suara kencang.
Berbeda gaya bicara, ia mengatakan, masyarakat Jawa dan Papua sejatinya adalah orang-orang yang ramah. “Hal ini yang kurang dipahami,” katanya.
Interaksi bukan demarkasi
Hampir dua pekan setelah aksi rasial di Surabaya yang memicu kerusuhan di Papua, Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkan sejumlah orang menjadi tersangka. Seorang politikus dan bekas calon legislator asal Partai Gerindra Tri Susanti dan anggota Linmas Tambaksari Surabaya Samsul Arifin sebagai tersangka ujaran kebencian di Asrama Papua.
Polisi juga menuding aktivis hak asasi manusia dan pengacara publik Veronica Koman sebagai provokator kerusuhan di Papua. Selain ketiga orang itu, Andria Adiansah, seorang Youtuber asal Kebumen, Jawa Tengah juga dituduh mengabarkan informasi bohong melalui kanalnya.
Alih-alih mendapat dukungan, sebagian masyarakat malah berpendapat, tindakan itu justru memperlihatkan polisi dan pemerintah tak memahami akar masalah dan bentuk penyelesaian kekerasan di Papua.
Sementara kasus hukum terus bergulir, Pemerintah Provinsi Jawa Timur berencana membangun asrama mahasiswa Nusantara. Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengatakan telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 38 miliar untuk pembangunan.
BACA JUGA: Asrama Mahasiswa Nusantara Ditargetkan Tuntas 2022
Menurut gubernur, asrama ini akan menjadi miniatur kebhinekaan. Asrama akan diisi oleh mahasiswa dari berbagai daerah sesuai kuota, sehingga akulturasi berlangsung alami.
Tapi bagi Olin, pembangunan asrama itu bukan solusi. Menurut dia, pembangunan asrama justru akan menyulitkan mahasiswa berbaur dan berinteraksi dengan warga. “(Bukankah) rasisme itu disebabkan kurangnya interaksi,” katanya.
Pengalaman Olin, juga Gatot sang penjual kopi dan Bu Sugik pemilik warung kelontong, pada hakekatnya pelajaran berharga membina kerukunan. Meski ‘hanya’ orang biasa, mereka telah melakukan tindakan luar biasa.