
Reporter
M. Khaesar Januar UtomoRabu, 31 Juli 2019 - 15:18
Editor
Hari Santoso
TUNTUTAN REKANAN: Rekanan PT DPS, Antonius Aris Saputra dituntut 18 tahun enam bulan oleh JPU di Pengadilan Tipikor. Foto: M Khaesar J.U.
JATIMNET.COM, Surabaya - Rekanan PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) Antonius Aris Saputra dituntut tinggi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan 18 tahun enam bulan penjara. Aris Saputra merupakan terdakwa kasus tindak pidana korupsi pembelian kapal floting crane yang dilakukan PT DPS.
Sidang yang digelar di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dipimpin langsung oleh ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana. Surat tuntutan itu dibacakan langsung oleh JPU, Rahmat Hambali dan Arif Usman.
Dalam tuntutan itu JPU menilai terdakwa Antonius Aris Saputra melanggar pasal 2 dan pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Selain itu ada hal yang memberatkan terdakwa berbelit-belit saat dimintai keterangan dalam persidangan, serta tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi.
BACA JUGA: Kejati Jatim Terima 6300 USD dari Enam Saksi PT DPS
Sedangkan yang meringankan terdakwa tidak pernah terjerat perkara hukum sebelumnya. "Dengan ini terdakwa atas nama Antonius Aris Saputra dituntut dengan 18 tahun enam bulan penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan," ucap JPU Arif Usman, Rabu 31 Juli 2019.
Selain itu terdakwa wajib mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 61 miliar selama satu bulan usai putusan tersebut inkrah. Jika tidak dapat membayar uang pengganti akan dikenakan pidana penjara selama sembilan tahun tiga bulan.
Dengan pembacaan surat tuntutan itu ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana akan melanjutkan sidang 6 Agustus 2019 dengan agenda pledoi atau pembelaan. Usai sidang, Kuasa hukum terdakwa, Bobby Wijanarko mengaku keberatan dengan tuntutan JPU yang menjatuhkan hukuman berat 18 tahun enam bulan.
BACA JUGA: Kuasa Hukum Dirut DPS Tolak Fotokopi Barang Bukti
Selain itu uang pengganti sebesar Rp 61 miliar dikenakan oleh terdakwa semua. "Karena sebenarnya uang tersebut tidak diterima sepenuhnya oleh terdakwa," ucap Bobby.
Kasus ini bermula dari adanya penyelidikan kasus besar ini dimulai ketika muncul laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan, ditemukan dugaan kerugian negara sebesar Rp 60,3 miliar dari nilai proyek pengadaan kapal sebesar Rp 100 miliar. Proyek pengadaan kapal jenis floating crane ini terjadi pada 2016 lalu.
Pengadaan kapal ini sudah melalui proses lelang. Kapal sudah dibayar sebesar Rp 60,3 miliar dari harga Rp 100 miliar. Dalam lelang disebutkan, pengadaan kapal dalam bentuk kapal bekas. Kapal didatangkan dari negara di Eropa. Namun, saat dibawa ke Indonesia kapal tersebut tenggelam di tengah jalan. Dari sini kemudian muncul dugaan bahwa, ada spesifikasi yang salah dalam pengadaan kapal tersebut.