Ahmad Suudi

Reporter

Ahmad Suudi

Senin, 31 Agustus 2020 - 14:00

JATIMNET.COM, Banyuwangi – Dua anak perempuan duduk di teras sebuah bangunan, mengguntingi kertas berstiker huruf-huruf warna-warni. Kepingan lembar-lembar bundar kecil yang mereka hasilkan itu untuk ditempel di sampul buku. Disusun menjadi tulisan nama mereka, Nayla dan Nova. Keduanya masuk gedung dan duduk di lantai depan rak buku. Kemudian saling menunjukkan isi buku yang dipilih dan tertawa bersama siang itu di perpustakaan Yayasan Rumah Literasi Indonesia (RLI), Rabu, 26 Agustus 2020.

Anak-anak di Dusun Gunung Remuk, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, tak jarang datang ke RLI dengan inisiatif sendiri seperti dua gadis kecil pembaca buku itu. Ruang terbuka, barisan buku, sambungan internet untuk kegiatan bersekolah, aktivitas bersama, dan hadirnya teman sebaya menjadi sumber belajar yang mereka konsumsi. Berdiri sejak tahun 2014, RLI kini secara rutin menggelar kegiatan bersama untuk sekitar 20 anak di lingkungannya dan orang tua mereka dalam kelas pengasuhan berbasis komunitas.

Kepada Jatimnet.com, Ketua Pengurus Yayasan RLI, Tunggul Harwanto, 33 tahun, menjelaskan sejak awal semangat gerakan yang mereka inisiasi untuk kemerdekaan belajar. Kegiatannya bisa berupa belajar membaca, bermain bersama, pagelaran pentas seni, atau mengunjungi mata air desa sebagai bahan ajar kelestarian lingkungan. Tak hanya anak-anak, orang tua juga didorong ikut andil dalam proses pendidikan.

BACA JUGA: Mendikbud Ajarkan Tentang Merdeka Belajar, Hapus Ujian Nasional

Dalam menciptakan suasana belajar yang merdeka bagi anak, pihaknya bertumpu pada tiga prinsip antara lain pembangunan karakter, literasi keilmuan, dan partisipasi ekosistem. Pembangunan karakter untuk menanamkan sifat-sifat terpuji pada anak, misalnya sabar, bertanggung jawab, disiplin, dan gotong royong. Sementara pembelajaran cenderung mengarah pada literasi dengan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan seperti  buku, pengalaman nyata, dan keterangan ahli.

Kemudian untuk menghimpun partisipasi, kelas pengasuhan dimunculkan agar orang tua masuk dalam ekosistem pendidikan terpadu untuk menambah kekayaan sumber belajar bagi anak di lingkungannya. Kolaborasi seperti itu, kata Tunggul, harus berjalan di ekosistem lembaga pendidikan, orang tua, dan lingkungan.

Di RLI, orang tua mengikuti pertemuan sebulan sekali untuk merencanakan dan mengevaluasi sendiri kegiatan pengasuhan anak mereka, mulai bagaimana membujuk anak mengkonsumsi makanan sehat, supaya rajin belajar, hingga menanamkan sifat dan sikap positif di rumah.

LITERASI. Ketua Pengurus Yayasan RLI, Tunggul Harwanto, di perpustakaan yang mereka kelola di Dusun Gunung Remuk, Desa Ketapang, Kec. Kalipuro, Kab. Banyuwangi, Rabu 26 Agustus 2020. Foto: Ahmad Suudi

"Sehingga apapun yang dimiliki anak itu harus digali potensinya. Dan model-model pembelajaran yang ada di rumah baca itu harus terus dikembangkan, agar semua kecerdasan bisa tumbuh. Dan anak juga bisa merdeka dalam menentukan apa sumber belajarnya, menentukan skillnya yang mau diasah, dan metode yang dipilihnya. Sehingga rumah baca harus bisa memfasilitasi," kata Tunggul.

Dalam suasana yang merdeka, diakuinya proses pembelajaran memiliki tantangan dalam menarik partisipasi orang tua, menyesuaikan kompetensi relawan yang bertindak sebagai guru atau pembimbing, dan begaimana membentuk kedisiplinan anak. Lantaran relawan atau guru dituntut bisa menciptakan kondisi agar pembelajaran bisa mengembangkan minat dan kecerdasan anak yang beragam. Relawan diikutkan dalam berbagai program peningkatan kapasitas sehingga mendapatkan pengalaman pengasuhan baru dari luar. Sementara anak-anak dalam berbagai kesempatan diberikan peran sehingga kedisiplinan dan tanggungjawabnya terdorong meningkat.

BACA JUGA: Covid-19, Mendikbud Luncurkan Program Belajar dari Rumah

Meraba Implementasi Merdeka Belajar Kemendikbud

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim telah menetapkan empat pokok kebijakan Merdeka Belajar sebagai arah baru pelaksanaan pendidikan nasional, Rabu, 11 Desember 2019. Penerapannya melibatkan subyek lebih luas, mulai murid, orang tua, guru, sekolah, pemerintah, hingga organisasi masyarakat (Ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dalam pidato yang bertajuk Merdeka Belajar Episode 1 itu, Nadiem mengatakan hanya dengan kemerdekaan lembaga pendidikan dan guru dalam berkreasi dan berinovasi, pembelajaran sungguhan bisa terjadi.

Empat pokok kebijakan Merdeka Belajar ialah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerima Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

Di pembahasan resmi Merdeka Belajar berikutnya, Nadiem secara bergantian juga memaparkan konsep Kampus Merdeka, penggunaan dan penyaluran Dana BOS, Organisasi Penggerak, dan Guru Penggerak. Dalam kesempatan lain, dia juga mengatakan salah satu semangat Merdeka Belajar adalah untuk mengaitkan sistem pendidikan dengan kebutuhan di dunia nyata atau dunia profesional tempat berkarya di bidang apapun.

Soal-soal USBN yang sebelumnya didominasi pilihan ganda bisa diganti menjadi bentuk esai, portofolio, dan penugasan-penugasan lain, seperti tugas kelompok, karya tulis, dan lain-lain yang ditentukan dan disusun oleh sekolah dan guru.

BACA JUGA: Empat Kebijakan Kampus Merdeka, Ini Kata Mendikbud Nadiem

Dengan demikian, lembaga sekolah dan guru mendapatkan kemerdekaannya dalam menentukan konsep penilaian holistik bagi murid mereka. RPP yang harus diisi guru sebelum mengajar diringkas dari 13 lembar menjadi satu lembar agar mereka lebih fokus pada refleksi metode pengajarannya sepulang dari kelas.

UN selama ini dinilai terlalu fokus pada hafalan materi, bukannya kompetensi pelajaran dan justru membuat stres siswa, guru, dan orang tua. Bagi sekolah yang telah siap, Nadiem merekomendasikan opsi penilaian lain berupa asesmen kompetensi minimum atau kemampuan literasi serta numerasi siswa, dan survei karakter yang menjadi media siswa menilai proses pembelajaran di sekolahnya.

Siswa dengan kompetensi minimum diharapkan bisa memahami bacaan-bacaan di semua mata pelajaran. Waktu penyelenggaraan UN diletakkan di tengah tahun agar menjadi bahan perbaikan proses pengajaran bagi sekolah di tengah tahun berikutnya, dan mengurangi tekanan pada siswa terkait hasil ujian. Kemudian, penerapan PPDB Zonasi yang bertujuan memeratakan kualitas pendidikan secara nasional.

MERDEKA BELAJAR. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam rapat koordinasi bersama kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019. Foto: Kemendikbud

“Tahun 2021, UN akan diganti menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter," kata Nadiem.

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas PGRI Banyuwangi (Uniba) Novi Prayekti menjelaskan berdasarkan presentasi Nadiem, menurutnya, praktik siswa akan lebih banyak mempelajari soal cerita. Bila sebelumnya pembelajaran mereka didominasi prosedural dengan menghafal rumus baku, kini akan mengarah pada masalah yang persoalan dan penyelesaiannya lebih beragam.

BACA JUGA: Dorong Minat Literasi Matematika di Era Industri 4.0

Banyaknya masaah yang relevan dengan kehidupan nyata seperti itu tidak akan bisa mengandalkan rumus baku dalam penyelesaiannya, melainkan dengan kemampuan literasi dan numerasi siswa. Maka yang ditekankan sejak awal bukan menghafal rumus-rumus melainkan menguasai kemampuan literasi dan numerasi.

“Kalau panjangnya sekian, lebarnya sekian, tingginya sekian, cari volumenya khan siswa tinggal ngalikan saja. Tapi, kalau dibawa ke konteks kehidupan keseharian, misalkan ada pesanan kolam ikan yang airnya sekian liter, tingginya jangan tinggi-tinggi, lebarnya jangan lebar-lebar, berapa panjangnya, nah itu susah, bingung. Jadi, siswa dilatih menggunakan nalarnya untuk menyusun langkah menemukan solusi,” kata Novi, Jumat, 28 Agustus 2020.

Sebagaimana hasil penelitian yang dikerjakannya bersama tim dalam jurnal berjudul Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP Dalam Memecahkan Masalah Aritmatika Sosial Ditinjau Dari Langkah Pemecahan Masalah Polya yang terbit tahun 2019. Siswa kelas VIII SMP diminta mengerjakan soal cerita mata pelajaran matematika dengan metode Polya, yakni menganalisa masalah, merencanakan strategi penyelesaian, melaksanakannya, dan mengevaluasi jawaban.

Dalam sesi wawancara pada tiga subyek yang dipilih acak, diketahui mereka berhasil memahami masalah dan menandai informasi penting, tapi tidak merencanakan strategi penyelesaian dan langsung menghitung jawaban soal. Ditambah mereka berinisiatif melakukan evaluasi mandiri meski tak sampai membaca ulang soal ceritanya.

BACA JUGA: Selama Pandemi, Sistem Pembelajaran SD dan SMP Surabaya Difasilitasi Melalui Televisi

Menurutnya, hasil penelitian itu menggambarkan kemampuan siswa-siswa tersebut dalam literasi dan numerasi. Dia mengatakan dari delapan siswa subyek penelitian, hanya 30 persen yang memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang baik dalam menyelesaikan soal cerita yang diajukan.

Sementara 70 persen sisanya kategori sedang. Soal cerita acap kali menyuguhkan masalah rill kehidupan sehari-hari yang dinamis dan penyelesaiannya tak bisa ditemukan dalam daftar rumus baku, melainkan harus dianalisa, dirumuskan sendiri, dan dihitung.

Sehingga proses-proses belajar yang terjadi di masa Merdeka Belajar nantinya lebih banyak mendorong siswa menggunakan nalarnya untuk memahami masalah, merencanakan strategi, dan menyusun langkah solutif. Dengan rutinnya proses pembelajaran seperti itu, siswa akan terbiasa tenang menanggapi informasi dan tidak terburu-buru bertindak.

Mereka akan lebih terbiasa berpikir atau menganalisa informasi baru, mengenai apa informasi itu sudah cukup lengkap untuk penyelesaian masalah, lalu menyusun rencana bagaimana menyelesaikan persoalannya, kemudian masuk ke pelaksanaannya. Akhirnya karakter siswa-siswa terbentuk menjadi pribadi yang analitik, kritis, dan solutif.

BACA JUGA: Pengajar di Sekolah Lereng Gunung Bromo Ikuti Pelatihan Literasi

"Kalau penelitian saya itu berkisar pada penyelesaian masalah, kemampuan berpikir kritis dan sebagainya, itu kalau saya lihat, jadi ya (siswa subyek penelitian) nggak terlalu bagus, tapi juga nggak terlalu jelek juga. Cuma ada potensi untuk ditingkatkan," kata Novi lagi.

Namun berkaca pada model Merdeka Belajar yang diterapkan RLI, tantangan yang muncul kemudian adalah sulitnya menarik partisipasi orang tua, menyesuaikan kompetensi relawan yang bertindak sebagai guru atau pembimbing, dan begaimana membentuk kedisiplinan anak.

Lantaran relawan atau guru dituntut bisa menciptakan kondisi agar pembelajaran bisa mengembangkan minat dan kecerdasan anak yang beragam. Relawan atau guru kemudian bisa diikutkan dalam berbagai program peningkatan kapasitas sehingga mendapatkan pengalaman pengasuhan baru dari luar. Sementara anak-anak dalam berbagai kesempatan diberikan peran sehingga kedisiplinan dan tanggungjawabnya terdorong meningkat.

Baca Juga

loading...