JATIMNET.COM, Situbondo – Batu bata merupakan salah satu bahan paling penting dalam membuat bangunan. Dalam beberapa literatur hasil penelitian arkeologi, bahwa batu bata ditemukan pertama kali sekitar 7.000 Sebelum Masehi (SM) di sekitar Kota Jericho, Turki. Dalam perkembangannya, batu bata mulai masuk ke Indonesia sejak bernama Nusantara.

Banyak bangunan peninggalan kerajaan Majapahit abad 12 hingga 15 yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, menggunakan batu bata. Saat ini, banyak daerah di Indonesia jadi pusat produsen batu bata. Di Situbondo, hampir ketiap Kecamatan terdapat sentra produsen batu bata, seperti di Desa Jetis dan Desa Blimbing, Kecamatan Besuki.

“Kalau di Desa Jetis ada beberapa daerah jadi pusat industri batu bata seperti di Dusun Biting dan Dusun Randu,” kata salah seorang pembuat batu bata, Lukman Yanto, Minggu, 7 Maret 2021.

BACA JUGA: Kemarau Membawa Berkah Bagi Perajin Bata di Probolinggo

Menurut pria yang akrab disapa Yayan ini, dirinya menjadi produsen batu bata melanjutkan pekerjaan orang tuanya yang menjadi pembuat batu bata sejak 1986. Ia belajar membuat batu dari orang tuanya, mulai dari mencampur tanah dengan jerami hingga cara mencetak dan membakarnya.

“Saya berpindah-pindah tempat, karena saya menyewa lahan milik warga untuk digarap jadi batu bata. Untuk lahan seluas hampir setengah hektar, saya sewa seharga Rp20 jutaan dan akan digarap jadi batu bata sekitar empat tahunan,” katanya.

BATU BATA. Sentra produsen batu bata di Desa Jetis, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, Minggu, 7 Maret 2021. Foto: Hozaini

Yayan menambahkan setiap tanah yang digarap menjadi batu bata biasanya akan menguntungkan pemilik lahan, karena tanah akan semakin subur. Biasanya letak lahan yang disewakan untuk pembuatan batu bata berada di atas saluran irigasi. Tanah akan produktif menjadi lahan pertanian setelah tanahnya dikeruk hingga sejajar dengan saluran irigasi.

“Seperti lahan yang saya garap ini tidak bisa ditanami lagi karena kesulitan air. Setelah dikeruk jadi batu bata, lahannya akan produktif karena tanah sejajar dengan saluran irigasi,” ujarnya.

BACA JUGA: Ipong Bakal Siapkan Pasar dan Modernisasi Pengrajin Bata Merah

Menurut Yayan, setiap bulannya dirinya bisa memproduksi 20 ribu batang batu bata dengan penghasilan kotor sekitar Rp10 juta. Kalau empat tahun dirinya menggarap lahan yang disewanya itu, maka penghasilannya bisa mencapai Rp480 juta.

“Itu penghasilan kotor. Kalau penghasilan bersihnya sekitar Rp3, 5 juta karena masih harus membayar pekerja dan membeli jerami dan sekam yang digunakan membakar batu bata,” ujarnya.

Yayan menjelaskan menjadi produsen batu bata juga mengalami pasang surut. Di awal-awal pandemi Corona Maret 2020 lalu, dirinya mengalami kondisi terpuruk karena sepi pembeli. Lambat laun harga jual beli batu mulai bagus hingga sekarang.

“Kalau sekarang pasarnya bagus. Dulu awal-awal pandemi saya dan keluarga benar-benar menangis karena sepi pembeli. Sempat saya obral batu bata yang menumpuk seharga Rp400 ribu per 1.000 batang batu bata, tapi tetap enggak ada yang beli,” ujarnya.

Geliat Usaha Batu Bata di Situbondo, Sempat Terpuruk di Awal Pandemi

Berita Populer

Baca Juga