Ahmad Suudi

Reporter

Ahmad Suudi

Selasa, 25 Mei 2021 - 11:00

JATIMNET.COM, Banyuwangi – Fenomena subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menjadi penyebab utama krisis keuangan global tahun 2008. Sebelumnya, dalam kondisi ekonomi yang bagus, bank-bank di Amerika mengurangi ketertiban pengeluaran kredit hingga memberikannya pada debitur kurang layak yang disebut subprime mortgage. Dipengaruhi kebijakan moneter yang semakin ketat pada 2004, tahun-tahun berikutnya menjadi masa banyak debitur di sana gagal membayar utang mereka pada bank.

Laporan Perekonomian Indonesia 2008 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perlambatan laju ekonomi Amerika itu kemudian berimbas pada perekonomian golbal. Pertumbuhan ekonomi global kemudian juga melambat menjadi 3,2 persen, padahal tahun sebelumnya berhasil mencapai angka 5,2 persen.

Negara-negara ASEAN mengalami penurunan angka pertumbuhan ekonomi 1,7 persen atau lebih. Singapura mengalami perlambatan paling parah, dimana tahun 2007 mendapatkan pertumbuhan ekonomi 7,8 persen, namun mencatatkan hanya 1,1 persen di tahun berikutnya. Sementara Indonesia yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi 6,3 persen tahun 2007 kembali mencapai 6,1 persen saat krisis itu melanda. Meskipun turut mengalami perlambatan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik daripada negara-negara lain.

Sementara pada krisis karena pandemi Covid-19 tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak hanya melambat, tapi sampai negatif. Bila tahun 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,02 persen, saat pandemi justru turun atau negatif 2,07 persen. Hal ini menandakan tekanan pada ekonomi Indonesia pada masa pandemi 2020 jauh lebih besar dibandingkan pada krisis keuangan global tahun 2008.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember (FEB Unej) M. Abdul Nasir mengatakan perekonomian Indonesia saat krisis global 2008 ditopang UMKM. Dia mengatakan saat itu akses permodalan pada UMKM lancar dan permintaan atas produk mereka tinggi. Sehingga dampak yang diterima UMKM tidak sampai membuat mereka terpuruk dan justru mampu menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

BACA JUGA: Geliat UMKM Jajanan di Masa Pandemi (1): Tetap Laris saat Lebaran

Berbeda dengan kondisi kala pandemi saat ini, dimana permintaan pasar pada produk UMKM anjlok sejadi-jadinya. Banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pegawainya, sekolah ditutup, dan masyarakat dibatasi dalam beraktivitas, menurunkan permintaan pada berbagai produk UMKM.

"Pada saat krisis keuangan global, permintaan produk UMKM di sana tinggi, tapi pada masa pandemi sekarang jumlah permintaan turun. Meskipun akses kredit cukup lancar, dari sisi demand atau permintaan juga menurun, karena banyak pendapatan masyarakat turun. Dari sisi tenaga kerja, rumah tangga, banyak sisi pendapatan yang turun," kata Nasir, Selasa, 18 Mei 2021.

Kekuatan UMKM tampak saat menyumbang Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nominal pada tahun 2008 sebesar Rp2.609,4 triliun atau 55,56 persen PDB Nominal saat itu. Angka pertumbuhan PDB Nominal menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional per tahun. Data itu tercatat dalam rencana strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2010-2014 yang juga menyebut total PDB Nominal tahun 2008 adalah Rp4.696,5 triliun.

Di tengah krisis keuangan global 2008, UMKM juga berkontribusi 20,17 persen untuk nilai ekspor nonmigas, yakni dengan total transaksi sekitar Rp183 triliun. Seluruh UMKM yang saat itu tercatat berjumlah 51,3 juta berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 90.896.270 orang atau 97,22 persen dari 93.491.243 total pekerja di Indonesia. Secara kuantitas unit usaha, jumlah UMKM juga merupakan 99,99 persen dari seluruh pelaku ekonomi nasional.

Krisis yang disebabkan pandemi tahun 2020 berbeda dan bikin anjlok kontribusi UMKM pada PDB. Lokadata mempublikasikan data kontribusi UMKM terhadap PDB dari tahun 2010 sampai tahun 2020 menunjukkan kontribusi UMKM pada PDB tahun 2019 sebesar 60,3 persen, namun menjadi hanya 37,3 persen di tahun 2020. Hal itu menunjukkan betapa babak belur kondisi pelaku UMKM.

BACA JUGA: Gabungan Eksportir Jatim Jajaki Peluang Ekspor UMKM Banyuwangi

Meskipun kondisinya terpuruk, Nasir mengatakan UMKM tetap berpotensi menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Lantaran UMKM memiliki faktor-faktor yang membuat mereka lebih tangguh terhadap guncangan krisis. Nilai-nilai itu di antaranya UMKM umumnya memanfaatkan sumber daya lokal, baik itu untuk sumber daya manusia, modal, bahan baku, hingga peralatan. Hal itu membuat sebagian besar kebutuhan UMKM tidak mengandalkan barang impor.

Demikian juga produk barang dan jasa yang mereka hasilkan cenderung dekat dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga pendapatan masyarakat yang merosot di masa krisis ekonomi, tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan. Sementara usaha skala besar, baik dalam permodalan maupun supply and demand, selalu bergantung pada banyak pihak yang saat kerjasama itu tidak lancar akan memperbesar kerentanan bisnis.

"Dan keunggulan lain, UMKM memiliki gaya yang fleksibel, adaptif, dan jiwa kewirausahaan yang tinggi. Sehingga ketika diterjang badai krisis pun UMKM masih bisa berjalan," kata Nasir.

Di sisi lain, dalam kondisi pandemi, tahun 2020 dari Januari hingga November, Indonesia mengimpor biji gandum sebanyak 9.593.733 ton. Jumlah itu hanya selisih 425.392 dari total impor pada periode yang sama tahun 2019, yang mencapai 10.019.125 ton. Angka itu tertera dalam analisa perkembangan harga bahan pangan pokok di pasar domestik dan internasional Desember 2020 yang diterbitkan Kementerian Pedagangan. Kemudian gandum itu diolah menjadi bahan setengah jadi, yakni tepung terigu, yang menjadi bahan utama industri olahan makanan.

Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) dalam buku putih yang mereka terbitkan tahun 2014 mengatakan mayoritas pengguna tepung terigu di pasaran adalah UMKM. Dari umpan balik yang mereka dapatkan dari pasar, diketahui 59,6 persen tepung diserap UMKM, 31,8 persen masuk industri besar modern, 4 persen digunakan industri rumah tangga dan 4,6 persen dibeli rumah tangga. Aptindo juga menghasilkan data bahwa UMKM yang menggunakan tepung terigu itu banyak memproduksi jajan, roti, dan mie terutama mie basah.

Asosiasi UMKM Banyuwangi (Akrab) juga melaporkan bahwa hanya UMKM dengan produk makanan yang masih bisa menjual produknya di masa pandemi kali ini. Penjualan produk UMKM kerajinan tangan dan batik benar-benar macet. Sebagian wirausahawan di bidang kerajinan tangan beralih ke kuliner ataupun makanan olahan, lantaran produk-produk itu yang masih laku.

BACA JUGA: Plafon Kredit UMKM Bank Jatim Banyuwangi Naik 100 Persen

Dari kelompok industri pengolahan, pada tahun 2020 industri makanan dan minuman menjadi sumber PDB yang cukup besar dibanding produsen jenis produk lainnya. Industri kimia, farmasi, dan obat tradisional menghasilkan peningkatan year on year tertinggi di kelompok industri olahan dengan angka 0,17 persen. Disusul industri makanan dan minuman 0,11 persen.

Sementara industri pengolahan lain seperti tekstil, kayu, tembakau, karet, plastik, logam, furnitur, dan mesin, justru hampir semua bernilai minus. Data itu muncul dalam laporan PDB menurut jenis lapangan usaha yang diterbitkan oleh BPS.

Artinya bahan baku utama UMKM jajan berupa tepung terigu tahun 2020 masih tersedia dengan jumlah yang tidak jauh dari tahun 2019. Besaran PDB yang dihasilkan industri makanan dan minuman relatif lebih tinggi dibandingkan jenis lapangan usaha lain. Ditambah masih adanya permintaan pasar atas produk UMKM makanan dan minuman olahan.

Beberapa hal itu menampakkan UMKM makanan dan minuman olahan masih bisa bertahan menghadapi krisis ini. Sebagaimana yang diungkapkan Nasir, UMKM bisa diharapkan kembali bangkit dan lalu menyokong perekonomian nasional.

Baca Juga

loading...