BJ Habibie, Teknokrat yang Membuka Kebebasan Pers dan Penegakan HAM 

Bayu Pratama

Reporter

Bayu Pratama

Jumat, 13 September 2019 - 03:34

bj-habibie-teknokrat-yang-membuka-kebebasan-pers-dan-penegakan-ham

BJ Habibie oleh Ali Yani

JATIMNET.COM, Surabaya – Pengamat hukum media massa Universitas Airlangga Titik Puji Rahayu, menilai Presiden Ketiga RI BJ Habibie adalah sosok teknokrat yang menyumbang bangunan reformasi di Indonesia, dengan melakukan terobosan hukum pers dan hak asasi manusia (HAM) dalam kondisi negara yang masih dipengaruhi jejak Orde Baru yang kuat. 

“Saat itu Presiden Habibie ingin membuka kebebasan berpendapat, tapi tidak mudah. Ia masih harus melawan arus yang kuat, terutama kekuatan residu, dan jejak otoritarian yang masih berupaya berkuasa di Indonesia,” ungkap Titik, ditemui di Gedung FISIP Unair, Kamis 12 September 2019.

Posisi Habibie membuat nya harus membuat terobosan hukum dan memulai reformasi dengan mendorong dua undang-undang, yakni Undang-Undang Pers dan Undang-Undang tentang HAM. 

“Seorang ilmuwan dan teknokrat, Tuhan menempatkan dia di situasi politik yang tidak menentu, betapa sulitnya ia mengambil keputusan,” tambahnya.

BACA JUGA: Pengasuh Ponpes Genggong: BJ Habibie Bagi Lingkup Pesantren Sa

Mengutip tulisan Nadirsyah Hosen, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berjudul “Human Rights and Freedom of the Press in the Post-Soeharto Era: A Critical Analysis”, terdapat perdebatan kuat tentang kebebasan pers pasca Soeharto. Yaitu perdebatan antara kebutuhan pers yang lebih liberal, melawan wacana pers yang bebas akan menyebabkan perselisihan bahkan integrasi nasional, yang banyak dilontarkan oleh pendukung status quo.

Sementara itu, kelompok jurnalis tetap skeptis dengan mengusulkan pencabutan KUHP yang digunakan untuk mengendalikan dan membungkam pers.

“Pada awal 1999 Presiden Habibie secara terbuka berjanji untuk mengakhiri sensor pers di Indonesia, saat itu kalimat Habibie, tidak akan lagi mengendalikan pers, tidak ada lagi editor berita telepon tentang berita yang ingin mereka terbitkan, merupakan janji Habibie kepada insan pers,” ungkap Titik, mengutip penelitian Nadirsyah Hosen.

BACA JUGA: Doa untuk Pembuat Pesawat

Namun, masih mengutip penelitian Nadirsyah, upaya tersebut, mendapatkan halangan berupa taktik politik dari Menteri Pertahanan saat itu, Wiranto. Ia membuat proposal kepada Presiden Habibie berupa Perppu nomor 2 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum, khususnya pasal 9 ayat 1e yang menyatakan bahwa pemaparan melalui media massa baik cetak maupun elektronik adalah bentuk penyampaian pendapat di muka umum. Berikutnya, poin tersebut dihapus pada UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang disahkan pada 26 Okober 1998. 

"Desakan lain datang dari dunia internasional, sementara dalam negeri komunitas pers dan organisasi jurnalis juga memberikan masukan. Kemudian akhirnya Pemerintah dan UNESCO mengadakan seminar, 'Media dan Pemerintah: Mencari Solusi', pada 23-24 Maret 1999. Versi terakhir undang-undang pers adalah subjek utama seminar,” tambahnya.

Masukan dalam seminar kemudian digunakan merancang Undang-undang Pers yang baru oleh sejumlah anggota parlemen. Namun setelah Pemilihan Umum, Juni 1999, kekalahan Golkar menyebabkan anggota parlemen yang terlibat dalam pembahasan UU Pers tidak terpilih kembali.

BACA JUGA: Gubernur Instruksikan Kibarkan Bendera Setengah Tiang Selama Tiga Hari

Tidak ingin mengambil risiko, dengan segala tekanan politik, Parlemen dan Pemerintahan Habibie secara resmi menyelesaikan UU Pers yang baru hanya dalam tiga belas hari kerja, sejak 26 Agustus 1999 hingga 13 September 1999.

"Ini bukan untuk menyarankan bahwa tidak ada perdebatan panas di parlemen. Bahkan, setidaknya ada 101 masalah yang dibahas saat itu. Partai Golkar mengajukan 64 pertanyaan, PPP mengajukan tiga puluh tiga pertanyaan, PDI menyebutkan 63 masalah dalam rancangan, dan para perwira militer di parlemen menunjukkan 38 poin untuk dibahas," kata Titik mengutip hasil penelitian Nadirsyah Hosen.

Walau demikian, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers akhirnya  disahkan Habibie pada 23 September 1999, memuat 10 bab dan 21 pasal. Menurut Titik, saat itu Habibie menyediakan ruang kepada pers untuk memberikan kritik dan mengoreksi posisinya sebagai Presiden.

BACA JUGA: Pelajar MI Nurul Huda Mojokerto Gelar Salat Gaib dan Doakan Habibie

"Demokrasi di masa itu tidak mudah, Habibie seorang insinyur harus mengambil keputusan secara tepat di tengah situasi politik yang tidak menentu, walau demikian akhirnya ia berhasil merampungkan Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang masih berlaku hingga saat ini," tutupnya.

Baca Juga