
Reporter
Dyah Ayu PitalokaSabtu, 10 November 2018 - 08:25
JATIMNET.COM, Surabaya - Melaju dengan kecepatan tak lebih 50 kilometer per jam, bus tiba di tujuan akhir, Halte Rajawali, pukul 08.50 WIB. 650 meter dari halte berdiri gedung Internatio.
25 Oktober 1945, Brigade 49 (bagian dari Divisi 23 tentara Inggris) di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak. Di bawah naungan komando pasukan sekutu untuk Hindia Belanda, ia membawa misi melucuti senjata tentara Jepang, memulangkannya, dan membebaskan tawanan perang. Dengan jumlah pasukan mencapai 6 ribu prajurit, Mallaby bermarkas di gedung Internatio.
Misi Mallaby semula berjalan damai. Tapi kondisi berubah ketika pada 27 Oktober 1945 di bawah perintah Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn, sebuah pesawat Dakota terbang di atas Surabaya. Tinggal landas dari Jakarta, pesawat menghujani kota dengan selebaran. Isinya, memerintahkan orang Indonesia yang bersenjata menyerahkan senjatanya. Jika tak patuh akan ditembak.
“Lebih baik mati berkalang tanah daripada kehormatan dan kemerdekaan RI diinjak-injak. Merdeka atau mati!” kata Soemarsono seperti tertulis dalam “Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan”.
Saat itu, ia adalah Ketua Pemuda Republik Indonesia, gabungan laskar berkekuatan puluhan ribu orang bersenjata hasil rampasan Jepang.
Singkat kata, rakyat menolak takluk. Pertempuran pun pecah. Kontak senjata terjadi di penjuru kota. Meski gencatan senjata sempat berlangsung, pada 30 Oktober 1945 malam, Mallaby tewas dalam sebuah adu tembak di depan markasnya, gedung Internatio.
Mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby hangus terbakar di depan gedung Internatio. Foto: Imperial War Museum.
Kematiannya memicu kemarahan luar biasa dari sekutu. 1 November 1945, wakil panglima sekutu untuk Asia Tenggara Laksamana Muda Patterson berangkat dari Jakarta dengan 1.500 marinir. Sementara komandan sekutu untuk Hindia Belanda sekaligus Panglima Divisi 5 Inggris Mayjen R.Mansergh berangkat dari Singapura dengan 24 ribu prajurit. Pasukan ini didukung persenjatan modern dan kendaraan tempur tercanggih pada masanya.
Lagi-lagi, rakyat Indonesia menolak tunduk. Setelah sehari sebelumnya Mansergh mengultimatum agar rakyat menyerah, tentara Inggris memulai serangannya pada pukul 06.00 10 November 1945. Surabaya dibombardir habis-habisan dari darat, laut, dan udara.
“Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama revolusi,” tulis peneliti Asia dan Pasifik dari Australian National University MC.Rickfels dalam “Sejarah Indonesia Modern”.
Dari halte Rajawali, saya berjalan ke gedung Internatio. Terletak tak jauh dari Jembatan Merah yang legendaris, sebuah pusat perbelanjaan berdiri di dekat gedung. Ada Taman Sejarah di sana. Taman untuk menandai lokasi tewasnya Mallaby pada masa lalu. Tempatnya rimbun dengan pohon trembesi, kamboja, dan walisogo alas sebagai kanopi alami. Juga asyik karena ada wifi gratis.
Gedung Internatio dan Taman Sejarah menjadi saksi tewasnya Jenderal Mallaby dalam perang 10 November 1945. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.
Sekitar 1,4 killometer di selatan gedung Internatio ada monumen Tugu Pahlawan. Puas mlaku-mlaku di Jembatan Merah, saya pergi ke ke sana. Di tengah Alun-alun Contong –berseberangan dengan gedung Gubernur Jawa Timur-, tugu setinggi 41 meter tegak menunjuk langit. Patung Soekarno-Hatta berdiri menyambut pengunjung di bawah replika gedung Kempeitai.
Kempeitei adalah satuan polisi militer Jepang. Pada masa revolusi, tepat di lokasi Tugu Pahlawan kini, berdiri gedung yang jadi markas mereka. Sesaat setelah Indonesia merdeka, para pemuda dan rakyat mengepung gedung. Memaksa mereka menyerah dan menyerahkan senjatanya.
Pada masa pertempuran Surabaya, sebagian besar senjata pemuda yang dipakai melawan Inggris adalah hasil rampasan Jepang. Mengutip The War Against Japan karya S.Woodbum Kirby dalam Who Killed Brigadier Mallaby?-nya JGA Parrrott, ada 200 senapan, 690 senjata mesin berat, 700 senjata mesin ringan, 1.240 Thompson gun, 3.360 revolver, dan ribuan amunisi Jepang yang disita pemuda Surabaya.
Gedung Kempeitei itu sudah musnah. Hanya replika sisa reruntuhannya yang kini bisa kita lihat di sana. Menjelang hari Pahlawan tahun ini, saya menjumpai ratusan siswa SD berbaju batik berkunjung ke sana.
Mereka berjalan berkeliling, mendengarkan penjelasan pemandu, dan mencatatnya di atas buku beralas punggung kawannya. Beberapa di antaranya mengabadikan Tugu Pahlawan dan patung tokoh-tokoh Indonesia menggunakan telepon genggam. Bergaya sedikit, bergantian saling potret bersama kawan sebaya.
“Ini fotonya untuk dikirim ke ayah saya,” kata Diaz, pelajar kelas VI SD yang sibuk mengambil gambar patung Bung Tomo dari beberapa sudut berbeda.
Guru sekolah mereka sengaja mengajak berkunjung ke museum 10 November untuk memperkenalkan nilai patriotisme dan nasionalisme pada siswanya.
“Hari ini kami ke sini karena dekat dengan peringatan Hari Pahlawan dan untuk memperkuat rasa cinta tanah air,’ kata Uswatun Hasanah, Guru Kelas IV SDN Tandes Lor itu.
Usai mlaku-mlaku di Tugu Pahlawan, saya menyusuri Jalan Bubutan. 800 meter dari Museum 10 November, ada Gedung Nasional Indonesia di sana. Sejak setahun terakhir, gedung itu juga dikenal sebagai Museum Dr.Soetomo.
23 September 1945 lampau, ketua Angkatan Muda Indonesia Ruslan Abdulgani mengundang pengurus AMI sekaligus 200 pemuda non-anggota. Dalam forum itu, Abdulgani menyerahkan kepemimpinan pemuda pada Soemarsono dan meleburkan AMI dalam PRI. Dalam perkembangannya, PRI mengorganisir pemuda dan mendirikan cabang di berbagai kota di Indonesia.
Gedung GNI Surabaya. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.
Dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945, sebanyak 120 ribu pemuda, tukang becak, dan rakyat umum termobilisasi melakukan perlawanan pada Inggris. Sebagian di antaranya adalah anggota laskar di bawah PRI. Mereka bergabung bahu-membahu bersama Badan Keamanan Rakyat di bawah komando Dr.Moestopo.
Tak terasa, sejam melihat-lihat koleksi Museum Dr.Soetomo di GNI Surabaya, matahari mulai bergeser ke arah barat. Sore menjelang, saya berencana pulang dengan menumpang Surabaya Bus. Dari aplikasi Gobis yang bisa diunduh di Playstore, saya tahu halte terdekat adalah Alun-alun Contong.
10 menit menanti, bus Tayo tiba menjelang pukul 14.00 WIB. Saya langsung naik. Cuaca Surabaya 34 derajat celsius membuat gerah dan membuat saya buru-buru mencari pendingin udara.
Seorang lelaki, kondektur bus, menghampiri dan bertanya mau bayar pakai botol plastik atau punya kartu berstiker merah muda. Kali ini saya tak lagi was-was meski tak ada sebotol plastik bekas pun di tas. Ya, saya punya kartu pemberian Ita. Lumayan, masih banyak stiker yang tak berlubang.
Saya pulang meski masih ada tempat yang harus dikunjungi. Jalan Tunjungan dan Wonokromo.